“Pergi,
satu kata yang tak ingin ku nanti. Pergi, layaknya jasad kaku yang kehilangan
nyawa, itulah yang dirasakan hatiku saat membiarkan mu pergi. Seperti detik
yang telah berlalu dan tak bisa kembali. Kita terasa seperti itu. Pergi, aku
ingin mengulangi kembali masa itu, masa di mana kita menjadi satu dan tak
pernah terpikir sebuah perbedaan dan kekurangan, namun kamu sudah pergi.
Sekarang tanganku tak menggenggam, jasad ku hampir tak bernyawa, arahku hilang.
Untuk berfikir menemukan kamu yang baru aku takut pergi datang lagi. Biarlah
pergi menjadi sebuah misteri. Dia akan berhenti ketika aku mati”
Mungkin
puisi itu yang bisa menggambarkan bunyi ketikan ini, terpejam mengingat-ingat
kenangan seakan melawan lupa. Gua. Terbujur tegang menatap langit-langit kamar
gelap. Baunya kelelawar tak bisa mengalahkan perasaan pedih seakan baru mati.
Putus. Seolah tak ada kata lain. Menatap hand phone dengan layar yang mulai
buram. Hubungan kita seperti layar itu... Gua terpaksa mengakhiri..
Satu
kata terucap dari terpaksanya bibir mengatakan. Kita sudah bukan kita lagi
sekarang. Aku adalah aku sejak beberapa detik berlalu setelah terucap putus.
Dan kamu, adalah sebuah coretan masalalu yang menjadikan hidupku seakan ada jutaan
kaleng cat yang tumpah. Bahagiaku harus aku akhiri.
Itu
adalah sepotong perasaan gua ketika baru putus. Gua tidak sendirian, ada banyak
orang yang sudah gua kenal mengalami hal yang sama seperti apa yang gua rasain.
Mengapa harus jadian kalau pada akhirnya putus? Hanya itu yang bisa terucap di benak.
Di
penghujung tahun 2012 dan triwulan pertama tahun 2013. Gua kehilangan dua
sekaligus wanita. Yang pertama di penghujung tahun 2012, dan beberapa bulan gua
putus, ada seorang wanita yang entah mengapa dia yang mengajak pacaran duluan.
Baiklah. Kata gua sambil tersenyum. Mengapa tidak, tak perlu terpuruk, meski
ini adalah pacaran terlama dalam hidup. Tiga bulan. Ia, itu adalah rentang
waktu yang cukup lama pernah gua rasain saat menjalin hubungan dengan seorang
wanita. Tak masalah, mana tau dia yang mengajak gua pacaran bisa jauh lebih
lama dari ini. Seperti kucing yang dipilih dalam karung. Kita memulainya.
Bulan Pertama
Awal
mula kita pacaran itu terasa tidak begitu nyaman, dia jarang menghubungi,
jarang membalas pesan singkat gua. Setelah dia menjelaskan apa yang terjadi.
Gua mengerti. Dia sedang mengalami sulit. Ibunya sakit. Dia harus menjaga
ibunya dari pagi hingga pagi lagi, Memang tak ada waktu untuk hanya sekedar
membalas pesan.
Dia
adalah sosok wanita yang lebih tua dari gua tiga tahun. Berambut panjang,
hidung agak besar, wajahnya kental batak, dia adalah pacar pertama bersuku
batak. Awalnya, gua berharap, pacaran dengan wanita yang lebih tua dari umur
gua, dia bisa mendewasakan dan bisa lebih dewasa dari wanita sebelumnya.
Mungkin sebuah keinginan yang berlebih, akan dibayar oleh kecewa yang berlebih
juga. Semua tidak sesuai harapan.
Pada
bulan pertama, kita mulai menjalani proses pendekatan emosional, dia
menceritakan tentang dirinya. Di atas sebuah ruko milik Firman teman yang sudah
gua kenal dari SMP, di jalan Panam, Pekanbaru, sambil menatap bintang terbujur
lelah, dia sedang semangat bercerita dari seberang telpon. Gua sebagai
pendengar tersayang yang setia hanya bisa memberi respon tertawa jika dia
sedang asik dan terlalu bersemangat bercerita. Yang bisa gua ceritakan sedikit
tentang hidup gua mulai dari mantan yang dia memang sudah kenal karena satu
tempat kerja, hingga kuliah.
Pada
bulan-bulan ini, sebenarnya gua masih ragu dengan hubungan yang terlalu singkat
ini. Gua belum pernah sekalipun PDKT dengannya, kita memang pernah ngobrol
berdua, jalan bareng, nganterin dia ke rumah teman tepatnya, dan gua juga tidak
menemukan hal yang menarik dalam hidupnya. Semua biasa saja. Bagi gua, tidak
ada cinta yang datangnya tiba-tiba. Kebanyakan nafsu. Dan mungkin ini adalah
kesalahan awal gua nerima ajakan dia berpacaran.
Bulan ke dua.
Ini
adalah bulan kedua kita pacaran, di bulan ini. Hubungan kita sudah mulai
semakin dekat. Gua merasa sudah mulai cocok. Dan di bulan ini. Kondisi ibunya
semakin memburuk.
“Sayang,
ibu itu kondisinya semakin memburuk” Kata dia di sebrang telpon hawatir.
“Kok
kenapa enggak dibawa aja ke rumah sakit?” Tanya gua kembali.
“Besok,
abang bilang gitu. Kasihan ibu, dia enggak bisa tidur. Badannya panas banget.
Dan satu hal yang ngebuat aku kepikiran terus” Lanjutnya lirih.
“Apaan?”
“Ibu
pengen aku cepet-cepet nikah sayang”
Hening
Masih hening beberpa saat.
“Nikah?”
Gua kehabisan kata.
“Ia,
ibu takut dia enggak bisa lihat aku nikah. Aku kan anak terakhirnya. Dia pengen
lihat aku setidaknya nikah” Sambung dia dengan nada paling rendah yang pernah
gua dengar dari mulutnya.
Umur
aku masih 21 tahun. Masak aku nikah di usia segini? Tanya gua di dalam hati.
Suasananya
masih hening.
“Yaudah,
entar aku bicarain sama bapak” Sambung gua seadanya setelah lama berfikir.
Seperti
hantu yang keluar di siang bolong. Perkataan nya membuat gua gusar. Seorang
anak berusia 21 tahun yang belum cukup siap untuk sebuah pernikahan. Gua dalam
dilema besar. Orang satu-satunya yang dapat memberikan jalan keluar adalah
bokap. Dia paling tahu bagaimana bertindak layaknya seorang laki-laki.
“Pak.
Masak. Aku ditodong secara enggak langsung. Dia mau nikah, alesannya karena
ibunya sakit parah dan hampir sekarat” Ungkap gua ke bokap dengan tatapan
nanar.
Dibarengi
satu kali hisapan rokok, dengan tatapan menuju arah tivi, bokap menjawab “Kapan
maunya?”.
“Secepatnya”
Jawab gua seadanya.
“Coba
tanya sama dia, kapan, bilang aja, kalau bisa pertengahan tahun” Lanjut bokap
santai. Yang dimaksud bokap adalah bulan 5 atau 6 tahun 2013.
“Tapi
pak, orang batak itu pake sistem beli, enggak kayak kita, orang jawa, wong kita
aja nikah pake uang sepuluh ribu itu udah bisa, lah mereka? Cemana?. Apalagi
dia cerita, kemaren ada yang nikah, emak dari mempelai perempuan sampe minta
ladang dua hektar. Dua hektar pak. Itu butuh duit banyak” Seru gua semakin
panik.
“Entarlah,
bapak tanyak ke temen, gimana caranya nikah adat batak. Yah itu bukan masalah.
Semua bisa dirembukkan. Kan sekarang tergantung si ceweknya, dia bisa ngelobi
keluarganya enggak. Kalau kalian sama-sama cinta, pasti bisa lebih gampang”
Lanjut bokap masih dengan tatapan santainya. Gua manarik selimut, tanda hampir
menyerah.
Keesokan
harinya, duduk di atas teras rumah, malam hari, pukul 19.30 Wib dengan fikiran
yang masih berkecamuk. Gua telpon dia..
“Bokap
aku setuju, kalau kita bakal nikah” Kata gua dengan sejuta kebingungan.
“Oh,
syukurlah. Tapi orang batak kalau nikah mahal loh. Hehehehe” Dia menimpali
dengan canda.
“Yah,
sayangkan bisa kompromi sama keluarga. Seberapapun aku bisa kok nikahin kamu,
tapi, apa enggak sayang nikah mahal-mahal? Toh, nikahkan cuman sehari doang,
bagus uangnya ditabung” Sambung gua. Malam ini adalah untuk pertama kalinya,
dalam hidup gua, membicarakan pernikahan dengan seorang wanita, secara serius.
Dia juga meminta dikirimkan foto gua untuk diperkenalkan dengan keluarganya.
Ia, kita Long Distance, dia berada di Sumatra utara, gua di Riau. Hubungan kita
baru dua bulan dan gua ditodong untuk nikah.
Pesan singkat
Beberapa
minggu setelah obrolan itu, gua duduk di depan komputer, dengan setumpuk data
dan kerjaan yang harus diburu selesai hari ini juga. Gua dalam keadaan
buru-buru. Di samping kanan gua ada senior yang dari tadi ketawa hasil bercanda
dengan senior yang lain, jarak kita hanya 10 jengkal. Hari ini cuaca cukup
cerah, meski begitu, gua tetap telat masuk kerja setengah jam, gua punya moto
dalam hidup di tempat kerja “Kebanggaan sesungguhnya adalah terlambat masuk
kerja, tepat waktu menyelesaikan tugas, dan bisa menipu orang yang lebih tua dan
pendidikan lebih tinggi dengan data” sampai sekarang moto itu gua pegang.
Kalian jangan ikut-ikutan, gua tidak mau itu. Nanti kalian bisa lebih menonjol
di tempat kerja daripada gua. hehehe.
Tidak
ada firasat apapun pagi itu. Handphone sedang memainkan “Always” nya Bon Jovi,
ditengah lagu, ada pesan masuk. Ini dari dia. Dengan senyum senang, gua
berfikir dia sedang bertanya kabar gua hari ini. Tapi tidak. “Ibu sudah tidak
ada”. Tulis pesan singkat itu. Gua terdiam. Dengan cepat gua bales sms dan gua
tahu, dia tidak akan membalas. Ini adalah masa dimana dia, menjadi anak yatim
piatu. Tidak tahu harus berbuat apa. Seperti lelaki yang tidak ada gunanya, gua
cuman bisa diam. Menatap monitor lemas.
Berhari-hari
berlalu, dia sangat sulit untuk dihubungi, duka yang mendalam membuat dia
seolah tidak punya siapa-siapa lagi di bumi. Ketika gua sudah hampir menyerah
menghubunginya, dia menghubungi gua balik. Masih jelas suara kesedihan di
telinga gua sampai saat ini. “Aku pengen bunuh diri aja. Aku udah enggak punya
siapa-siapa. Kemarena aku mau potong pembuluh darah aku, cuman karena sakit,
enggak jadi” Kata dia disebrang telpon lemas. Gua yang kaget mendengar
perkataannya, langsung menasehatinya, layaknya seorang ustat dadakan, gua
menjelaskan kalau orang yang mati bunuh diri, itu akan sulit dikehidupan
selanjutnya. “Kamu nanti gentayangan loh” Sambung gua sedikit bercanda. Saat
itu kita kembali ngobrol, dia mulai bisa tenang, beberapa hari kemudian, dia
mulai bisa tertawa. Gua seneng.
Bulan Terakhir
Sepeninggalan
ibunya, kita semakin dekat. Layaknya orang yang benar-benar sedang berpacaran,
kita tak henti menelpon. Jarak antara kita yang membuat hubungan ini menjadi
sebuah tantangan. Gua tahu, ketika dia sedang sendirian di rumah, dia selalu
mengajak sepupunya untuk bermain bersama. Pergi kemana saja. Termasuk mulai
pergi dari hidup gua.
“Sayang,
kan sayang yang naksir dan ngejer-ngejer aku yakan?” Tanya dia disebrang telpon
seperti menahan ketawa.
“Enak
aja, kan aku yang kamu tembak duluan, kamu lah yang ngejer-ngejer aku” Sambung
gua nahan ketawa juga. Sehabis itu, kita sama-sama pamit mau pergi. Gua dengan
Firman, yang sudah siap untuk diajakin makan mie dekat markas TNI – AU di
Pekanbaru, dia juga katanya mau makan keluar. Biarlah, dia lebih tua dari gua.
Tahu mesti berbuat yang pantas. “Jangan selingkuh yah” Lanjut dia dan
berakhirlah telponan kita.
Di
bulan ini, maret tahun 2013, hubungan kita yang awalnya di bulan ini semakin
dekat, sudah mulai nampak celah kerenggangan. Kadang dia baik, kadang dia mulai
cuek. Kan seharusnya gua yang cuek, karena gua yang dia ajakin pacaran. Tapi
kenyataannya. Kelemahan gua cuman satu pas menghadapi lawan jenis. Ketika
perasaan gua mulai tumbuh, itu tandanya gua mulai tidak bisa menahan perhatian
ke pasangan. Ini adalah faktor kelemahan, dan yang kalian tahu semuanya, para
lelaki. Perempuan itu tidak suka bila terlalu diperhatikan.
Telpon
tidak diangkat. Itu adalah tanda awal dia sedang ingin menjauh dari gua. Dua
bulan lagi dari rencana gua mau melamar dia dan menikahi dia, mulai terasa itu
tidak akan pernah terjadi selamanya. “Sedang tidak ingin mengobrol” dia malah
menulis status itu di facebook. Meski kejadian itu sudah dua tahun lamanya
terjadi, gua masih tetap ingat sampai tulisan ini gua buat. Kita bisa mencintai
seseorang yang belum tentu mau dengan kita. Artian, cinta yang dipendam. Namun,
kita tidak bisa mencintai seseorang, yang awalnya orang itu seakan memberi
tempat untuk kita bisa cintai, setelah itu dengan angkuh dia menggusur
keberadaan kita penuh egois.
Suara terakhir
Dengan
usaha yang gua lakukan meski harus berulang kali nelpon dia, entah dia bosan
dengan gua yang selalu berusaha mencari penjelasan dengan sikap dia, akhirnya
dia mengangkat telpon tersebut. Kita mengobrol bentar, setelah dia berkata
sedikit sinis “Udah yah, ada abang itu dateng, enggak enak sama buk de”
(sebenarnya dia sedang menyebut buk de dalam bahasa batak, tapi gua lupa) lalu
telpon berakhir. Gua tidak tahu siapa yang dia maksud dengan abang itu, yang
jelas saat itu dia sedang berada di rumah buk de nya, sebelum dari itu memang
dia pernah sms kalau milih tinggal di rumah buk de ketimbang rumah sendiri.
Karena sepi.
Telpon
malam itu terasa sangat berbeda. Gua sedang menghadapi dingin hatinya. Entah
karena apa. Tapi, gua merasa karena memang ada orang lain. Entah siapa dia,
karena jarak yang terlalu jauh, seolah-olah semua dia bisa lakukan di belakang
gua. seolah-olah dia berhak mendua, dan berfikir tidak masalah dia lakukan
seperti itu. Dan seolah-olah, dia memacari laki-laki yang Tuhan tidak
anugrahkan dia perasaan. Dia mulai keterlaluan.
Status
BBMnya, membuat gua berfikir, semua ini mulai aneh. “I Love You too” dengan
emoticon seperti mencium. Tidak ada mengucapkan sesuatu. Kata gua dalam hati,
tapi kenapa dia membuat Personal Message seperti ini?. Saat itu gua sedang
siap-siap berangkat kerja. Di depan ada meja belajar yang sudah gua miliki dari
SD. Meja belajar di mana pertama kali gua mulai belajar menulis cerpen. Ibu
dari tadi mondar-mandir menyiapkan semua kebutuhan adik-adik gua. Sedangkan
yang lain sedang sibuk dengan masalahnya sendiri di rumah. “Itu untuk siapa?
Kalau kamu udah nemu yang lain, tinggalin aku, enggak usah kamu paksain terus
kayak gini” Tulis BBM ke dia lalu gua pamit kerja ke ibu dan bapak.
Sesampainya
di kantor, dia membalas “Jangan marah-marah kayak anak kecil kenapa. Itu cuman
buat manas-manasin orang”. Dia berhasil. Kalau maksud dia untuk memanas-manasi
orang dan itu gua, dia berhasil. Gua cuman diem. Mungkin lebih baik seperti
anak-anak, ketimbang tua cuman di usia, pola fikir berantakan. Gumam gua kesal.
Hari itu tidak ada kata maaf sama sekali, baik itu dari gua, maupun dari dia.
Egois gua mulai terbangun dari tidur panjangnya. Dia semakin menjadi di
Personal Message BBM. Karena malas dengan semua tingkah dia. Gua sengaja
membiarkan BlackBerry gua mati. Setelah pulang ke rumah, baru gua hidupkan hape
tersebut kembali.
Dia
menulis kembali kata “I Love You Too” dengan tanpa menyadari ada gua di kontak
BBMnya. Entah hatinya terbuat dari adonan bakwan atau terbuat dari kaleng. Mungkin
saatnya harus diakhiri. Fikir gua.
“Baiklah.
Maaf kalau selama ini aku terlalu maksain. Kamu yang mengajak aku pacaran. Sebenarnya
males, cuman daripada enggak, lebih baik aku memulai. Ternyata bukan suku, yang
menjadikan seseorang itu setia. Mau itu Jawa, batak, siapapun itu. Enggak
memastikan mereka setia. Okelah, kita akhiri hubungan ini. Aku enggak akan BBM,
nelpon, sms ke kamu. Jangan coba-coba nelpon” tulis BBM malam itu. Dan
berakhirlah hubungan kita. Pada percakapan beberapa bulan yang lalu, dia pernah
bilang ke gua, di atas ruko Firman, malam minggu yang dingin, “Kata ibu, jangan
pacaran sama cewek jawa” ucap dia serius. “Kenapa?” Tanya gua penasaran. “Ia,
cewek-cewek jawa suka selingkuh” Jawab dia. “Oh, ia sih, tapi bukan berarti
karena sukunya, tapi orangnya” Lanjut gua sekenannya. Kita tidak bisa menilai
orang, karena suku, atau agama. Ingat, suku dan agama itu tidak diciptakan
untuk berbuat yang tidak baik. Biar itu
jawa, batak, biar itu islam, kristen, yang salah itu orangnya. Jadi pas ada
orang jahatin kamu, jangan pernah tanya apa agama atau sukunya, karena, ketika
kamu menyalahkan satu suku atau agama. Kamu akan berhadapan dengan banyak
masalah.
Dia
cuman membaca tanpa membalas BBM dari gua. Nampaknya, dia sudah siap untuk ini.
Seminggu
setelah putus. Dia mengirimkan rekaman dari BBM suara dia bernyanyi, nampaknya
itu di tempat karoke. Lagu Air Supply, Without You, gua sebelumnya pernah
bilang ke dia, kalau gua suka lagu Air Supply, entah apa tujuannya, gua cuman
membalas “Air Supply, without you. Aku suka ini” dan dia hanya membaca pesan
itu. Setelah itu, kita tidak pernah berhubungan sama sekali.
“Suatu
hubungan yang dimulai terlalu gampang, akan berakhir lebih gampang”
Entah
mengapa, banyak wanita yang beranggapan, pria lebih mudah move on ketimbang
wanita. Salah. Semua sama. Hanya saja, laki-laki hidup tidak terlalu mengandalkan
perasaan, seperti halnya wanita. Makanya, laki-laki akan sangat menjijikan jika
menjalin hubungan terlalu membawa perasaan. Dan wanita akan terlihat sangat
murahan jika menjalin hubungan seperti tak punya perasaan. Sehabis close book
di kantor, gua mengambil cuti tiga hari untuk menenangkan perasaan gua yang
sedang berantakan. Hanya karena putus, gua ngebela-belain cuti. Kalau ada yang
bilang gua orangnya gampang move on setelah ini, terserah kalian..
Percakapan Kedua
Tiga
bulan setelah putus dari dia, hidup gua normal kembali. Sebelumnya, satu minggu
setelah putus, gua ngelapor ke Mei, Ferina, Dea dan temen gua yang gua susah
kenal namanya, setelah beberapa minggu kemudian, gua inget, nama dia Mulan,
orang yang saat ini gua panggil bebeb karena kejadian setelah dipercakapan ini.
“Guys,
gua putus” kata gua dengan tatapan kosong.
“Ha?
Kenapa?” Tanya Meily dengan wajah serius.
“Gua
diselingkuhin” Jawab gua sekenannya.
“Yaampun,
yang sabar yah Reby” Sambung Dea menenangkan.
Lalu,
gua, Ferina dan Dea, kita bertiga sekarang adalah jomblo, dan Mei serta Mulan,
mereka masing-masing punya pasangan.
“Ah,
Mulan, tak joleh (enggak jelas dalam bahasa Minang), masak, dia punya cowok
dua” kata Meily serius. Mulan cuman bisa tertawa terbahak. Ia, waktu itu, Mulan
punya dua, mungkin lebih, dan semuanya aparatur negara. Mulai dari TNI, Polri,
dan entah siapa lagi.
“Eh,
kita pacaran aja yuk” Tanya gua ke Mulan bercanda.
“Yuk
yuk yuk” Jawab Mulan menahan tawa.
“Besok
aku pasang status pacaran sama kamu yah beib di Facebook, buat manas-manasin
mantan. Hehehe” Sambung gua dan akhirnya, setelah kejadian itu, gua panggil
Mulan dengan sebutan bebeb. Di mana pun, tetep gua panggil dia seperti itu,
meski ada dosen, dan itulah kami. Gua seneng berada di antara mereka meski gua
cowok sendirian. Gua sayang kalian semua guys.
Siang
itu, setelah satu minggu dari percakapan di atas, gua keluar dari kelas untuk
menenagkan diri setelah pelajaran jam 15.00 wib usai. Mendapati orang yang
banyak sekali berkumpul untuk antri foto copy, gua mencoba ke depan untuk
mencari informasi ke temen yang sedang tiduran di mushola kampus. Sembari
berjalan ke depan kerumunan orang, gua dikagetkan dengan sesosok wanita yang
dulu pernah kenalan dengan gua. Orang yang pertama kali gua kenal di kampus.
Dengan senyuman yang khas dan hampir satu tahun kita tidak pernah ngobrol lalu
akhirnya gua lupa namanya.
Dengan
sebuah kertas di tangan dia, dengan tatapan sambil tersenyum. Gua mengingat.
Ini perempuan yang waktu itu kenalan sama gua dan gua pernah sapa dia pas balik
dari makan malam. Sembari mendekat ke arah foto copy, dan gua mendekat ke arah
teman, saat itu juga, gua seperti ingin berkenalan dengan dia untuk yang ke dua
kalinya.
“Eh,
hai, Kamu yang dulu itu kan?” Tanya gua basa-basi.
“Eh,
hehehe. Ia, apakabar?” kata dia sambil menyodorkan tangan. “Nama Aku (sensor).
Siapa nama kamu? Aku lupa” lanjut dia dengan senyuman yang sama seperti pertama
kali bertemu.
“Aku
Reby, kamu jurusan apa? Aku kirain dulu kamu anak ekonomi juga kayak aku.
Hehehe” lanjut gua masih basa-basi.
Setelah
banyak berbasa-basi. Gua meminta nomor hape dia, masih dengan senyumannya, dia
membacakan nomer hape, dan gua menambahkannya ke kontak yang ada di hape Nokia
X 02-01 gua. Setelah dari itu, gua masuk, dengan senyuman najis. Mengarah ke
kerumunan wanita yang berperan menjadi sahabat gua. Gua melapor. “Aku baru
kenalan ama cewek guys” seru gua tanpa basa-basi.
“Sama siapa?” Tanya Mei
penasaran. “Siapa yah, gua lupa namanya.
Hahahaha” sambung gua, dan yang lain ngebego-begoin gua. “Bentar, kan udah aku
save nomernya. Nah, ini” Kata gua memandang hand phone, dan gua bacakan namanya
sekalian dengan jurusannya. Siang itu. Rasanya gua tahu siapa yang harus gua
hubungi pada malam berikutnya. Dan siang itu. Gua tahu. Dengan siapa gua harus
berpacaran selanjutnya. Oh Tuhan. Ayolah, berhenti bercanda lagi….
Di sebrang telpon
Kuliah
sabtu dan minggu, membuat gua merasa cukup lelah sebenarnya karena Senin sampai
Sabtu, gua kerja. Dulu, tujuan gua kuliah bukan mencari S1. “Aku mau kuliah
Firman, tapi biar aku pas jomblo enggak sendirian di rumah, kan kalau kuliah,
ada temen jomblo, dan bisa jomblo rame-rame” Saut gua ke Firman. Kita ketawa.
Jujur. Kuliah itu adalah pilihan terakhir sebenarnya. Mengingat dulu gua malas
sekolah, meski tidak pernah tinggal kelas. Namun, meskipun nampak kurang serius
dari luar, gua sudah menyiapkan kuliah gua dari dua tahun yang lalu. Yang
pertama. Mempersiapkan diri untuk pergi kuliah tidak ada yang dibonceng. Kedua,
mempersiapkan mental pas di kampus kenalan dengan pacar orang dan gua naksir
lalu akhirnya ditolak. Oke fine. Itu yang harus gua persiapkan. Selama dua
tahun.
“Eh,
lu gimana sama anak komunikasi itu?” Tanya Meily memandang BlackBerrynya.
“Astaga,
aku lupa ngubungi dia. Hahaha” ia, setelah satu minggu gua dapet nomer dia, gua
malah lupa, ada perasaan malas untuk memulai setelah tiga bulan sebenarnya.
“Astaga
rebyyy. Lu emang bego dah” Maki Meily dan akhirnya gua ngakak.
“Yaudah,
besok deh, senin gua hubungi dia yah”. Lalu kegiatan belajar kita lanjutkan.
Seperti hari-hari sebelumnya. Gua malas untuk terlalu berfikir di kampus.
Fikiran untuk cepat pulang terus memaksa gua untuk tidak tenang di kelas..
Seninnya,
gua belum menelpon dia. Lalu jum’at nya gua telpon dia setelah gua inget kalau
ngejomblo itu ngebosenin. Hahaha.... Panggilan pertama, tak terangkat. Gua
tunggu sampai beberapa menit kemudia, lalu sms datang “Maaf, hape tertinggal di
rumah, tadi keluar bentar” setelah itu kita ngobrol hingga pulsa gua habis.
Malam itu adalah pertama kalinya gua kehabisan pulsa yang sebelumnya pulsa Rp.
10.000 bisa tahan sampai dua minggu...
Lalu
malam itu adalah malam yang memulai semuanya menjadi jauh lebih dekat. Kita
mulai sering saling mengirim text, ketawa-ketawa sendiri pas baca sms, pas lagi
makan juga gua sering ketawa sendiri. Mungkin kalau ada patroli rumah sakit
jiwa melintas, bisa saja gua kena tangkap. Kasmaran memang sering begitu.
Membuat kita terlihat aneh di hadapan orang banyak. Maklum, rasa senangnya
sulit dibagi. Tak segampang membagi sedih.
“Oya,
kangen kamu. Boleh?” tanya gua setelah seminggu kenal dia. Gua type cowok yang
langsung “plak” ketika merasa rindu. Sebaik-baiknya rindu adalah ketika kita
ungkapkan. Tak perlu di pendam. Hanya bangkai yang boleh dipendam. Rindu
jangan. Biar dia mau anggap apa kita. Yang penting tak ada rasa aneh yang tetap
tertahan di dalam hati...
“Boleh
enggak yah? Boleh :)” jawab dia. Dan akhirnya gua ketawa sendiri lagi..
Semakin
kemari, semakin hubungan kita sudah tidak bisa dibiarkan dalam keadaan “hanya
berteman”. Gua pengen melanjutkan hubungan ini ke fase berikutnya. Hanya saja.
Gua ragu apakah bisa bertahan lebih lama dan tidak menjadi mantan lagi.
Sudahlah. Yang penting tidak jomblo lagi, masalah selanjutnya, serahin ke Tuhan
saja. Jangan pernah mengurusin urusan tuhan kalau urusan sendiri saja tak bisa
diselesaikan. Gua memantabkan diri...
Cowok
itu diwajibkan pandai mengolah kata, lalu membuat dia memancarkan sinyal-sinyal
ingin ditembak. Dan gua berhasil melihat sinyal itu. Melihat dia mulai berharap
juga untuk next ke tahap berikutnya. Dengan cukuran jenggot di tangan kiri,
handphone di tangan kanan. Gua siap untuk pacaran...
Rencana
gua susun di hari jum’at, gua mempersiapkan diri untuk sebuah penerimaan, atau
alasan basi yang membuat dia tidak bisa bersama gua. Hari itu, jum’at siang
yang ngantuk, gua memuat sebuah dikrit anti jomblo. Bahwasannya pacaran adalah
hak segala jomblo.
Yah, aku mau bahagia bersama mu.
Sabtu
siang, kita sudah membuat janji. Sebelum penembakan, gua mengajak dia makan di
nasi padang dekat kampus. Lalu berencana ke taman kota sebentar. Ketika melihat
ke samping, gua melihat wanita yang buat gua deg degan, tidak seperti makan
dengan Firman yang ketika melihat ke arah dia, gua mau muntah.
Setelah
dia setuju dengan rencana gua untuk jalan sebentar ke taman yang ada di salah satu
tempat di Pekanbaru, gua memulai persiapan. Deg degan yang ada malahan. Andai
nembak bisa pakai calo, hari itu mungkin gua bakal menyewa Vino G Bastian buat
dijadiin calonya, sayangnya tidak mungkin. Sesampainya di taman, kita keliling
taman sejenak. Jalan beriringan dan terkadang dia tertinggal di belakang, gua
baru menyadari ketika gua merasa berjalan sendirian. “Di depan gih, nanti kamu
ketinggalan” kata gua ke dia dan gua mulai memperlambat laju jalan.. Menuju
gazebo yang ada di taman kota, kita duduk. Menghela nafas. Memandang ke arah
dia seperti pelari yang mulai bersiap-siap ambil posisi, gua memulai semua hari
itu juga. Gua ingin lari dari semua kesialan ketika gua single, dan gua ingin
berlari dari bekas luka masalalu akibat mantan.. Gua memegang tangannya.. Dia
menatap mata gua. Monyet. Kata gua dalam hati. Gua gak tau mau bilang apa.
Bleng fikiran gua saat itu. Hanya setan yang bisa gua persalahkan..
“Mau
enggak, kamu bahagia bersama ku?” Sebuah proses penembakan yang didalamnya
tidak ada kata mengajak berpacaran.
“Pilihannya
apa dulu?” Tanyanya menatap serius.
“Ya,
terserah mau jawab apa. Aku mau, mau-mau banget, gak mau atau gak mau mau
banget, ya terserah” Gua menjawab serius.
Lalu
dengan sebuah senyuman lebar. Dia menjawab “Mau mau banget”. Dan akhirnya gua
bisa bernafas lega. Gua pengen lari dan nyemplung ke kolam yang ada di taman,
karena ada kelas, gua urungkan dan kita langsung ke kampus. Untuk pertama
kalinya, kita bergandengan tangan. Mulai hari itu. Dua anak adam ini mencoba
menjadi calon jodoh masing-masing tanpa perduli apa yang akan terjadi di masa
depan..
Sebuah keseriusan yang tak mudah
Sesaat
setelah jadian, gua tidak memberi tahu teman-teman kalau gua sudah punya pacar.
Gua memang sering menyembunyikan hubungan di awal-awal jadian. Karena apa?
Karena pasti bakal kena palak. Judul palaknya “Pajak Jadian”. Gua sering merasa
heran dengan budaya makan-makan manusia Indonesia. Semua kegiatan ada
perayaannya. Mulai dari ulang tahun. Bukannya yang ulang tahun yang dibayari,
malah ngebayari. Sebuah ucapan “selamat ulang tahun” yang tak gratis. Promosi
jabatan juga, sampai jadian. Semua kena pajak. Jadi kalau kalian habis jadian,
lalu di kantor dapat promosi, naik jabatan di hari ulang tahun kalian. Kere
kalian teman.
Sebaik-baiknya
gua menyimpan rahasia, akhirnya kebongkar juga. Temen-temen kampus gua tahu,
kalau gua sudah jadian dengannya. Satu minggu setelah jadian gua sedang
membalas sms pacar di kelas. Karena sangat fokus ke handphone, Meily yang
sedang menguntit pun tanpa disadari membaca jelas sms balasan gua. “Loh, lu
udah jadian Reby?” Kata Meily kaget. “Ha? Ia” Jawab gua sekenannya dan gua
siap-siap kena bantai. Dan akhirnya benar, gua kena caci maki karena tak
memberi tahu mereka.
Ketika
hari minggu, baru gua leluasa pacaran dan benar saja. Mereka menagi Pajak
Jadian dan gua diemin karena gua dalam keadaan kere tingkat kabupaten.
“Halo
sayang, lagi di mana?” Tanya gua di sebrang telphone ketika mau bersiap pulang
dari kampus.
“Lagi
di makam” Jawab dia sedikit berbisik.
“Oh,
yaudah, Reby balik ke rumah yah”
“Ha?
Apa?”
“Balik
ke rumah, reby dah kelar ngampus” Jawab gua dengan nada suara sedikit keras
biar dia bisa mendengarkan apa yang gua ucap.
“Oh,
ia”
“Assallamuallaikum”
Kata gua dan mengakhiri obrolan kita pagi itu.
Layaknya
pacaran seperti biasanya, kita normal-normal saja. Tidak ada yang terasa aneh.
Gua juga seperti itu. Gua asik dia asik deal. Kita juga nyambung kalau ngobrol,
yah gua ngerasa nyaman bisa berpacaran dengan dia.
“Eh
Reby, lu enggak kecepetan pacaran sama dia?” Tanya Ferina serius.
“Maksudnya
PDKTnya?”
“Ia,
lu baru aja kenal 2 minggu langsung lu tembak, bukannya cari tahu dulu dia itu
gimana. Harusnya lu itu jangan cepet-cepet ngambil keputusan” Lanjut Ferina
makin serius.
“Yah,
gua enggak mau aja diserobot orang lain Fe. Gua udah ngerasa cocok, yaudah, gua
tembak aja” Tandas gua membela diri.
“Duh,
terserah lu lah Bik, yang penting gua udah bilangin”
Lalu
kita kembali konsen belajar di kampus.
Ferina
adalah sahabat gua yang paling perduli sama gua, mulai dari masalah kuliah
sampai masalah perasaan. Dia yang paling sering nelpon gua, BBM gua, text gua
kalau gua tidak bisa masuk kuliah. Gua berasa seperti kuliah bareng emak di
kampus, tapi, mau bagaimanapun, dia tetap perhatian ke gua meski gua sering
ngeyel, bandel dan jarang mau dengar apa yang dia ucapi.
Hubungan
kita sudah hampir satu bulan penuh, gua merasa tidak ada yang aneh di hubungan
kita, gua tidak merasakan sebuah perbedaan apapun. Jujur, gua tidak terlalu tahu
tentang dia secara mendalam awalnya, dan akhirnya, hubungan kita mulai
memberat. Setelah gua tahu kita beda agama..
“Oya,
sayang, Papa bentar lagi ulang tahun, biasanya kita pergi ke makam untuk
ngerayain ulang tahun Papa” Seru dia di sebrang telpon.
“Yaudah,
nanti pas pertama kali Reby ke rumah sayang, sekalian kita ke makam Papa
sebelum kita pergi jalan”
“Tapi
aku mau jujur sayang. Sayang jangan kaget yah” Lanjut dia ragu.
“Ha?
Jujur apaan?” tanya gua, yang mulai merasa deg degan.
“Kita
beda agama, aku kristen, sebenernya aku mau bilang ini dari awal, tapi aku
takut sayang pergi ninggalin aku” jawab dia ragu. Lalu gua enggak tahu mau
ngomong apa. Dengan perasaan yang campur aduk, terbatah-batah gua mengatakan
“Oh, ia, gak masalah kok, Reby juga sering belajar agama kristen, malah dari
SMP dulu, jadi tenang aja” sebuah kalimat yang tidak nyambung dan akhirnya gua
tetap menjalani hubungan dengan dia. Gua hampir mati kena serangan jantung
malam itu..
Sabtu
di bulan Ramadhan tahun 2013, untuk pertama kalinya gua ke rumahnya berkunjung.
Sebuah perasaan yang campur aduk hari itu. Gila. Gua berasa seperti mau
dieksekusi mati. Sebelumnya kita pernah kencan di awal bulan puasa tahun 2013,
namun gua tidak pernah merasa kalau kita beda agama, gua sempat feeling namun
sesegera mungkin gua menampik. Sebuah keputusan yang tidak mudah, dan akhirnya
hubungan ini gua mulai dengannya. Gua seperti mengambil senapan dan mengarahkan
ke kepala, dan di waktu yang tidak tahu kapan itu, senapan itu akan menembak
kepala gua. Gua terlalu nekat menjalani hubungan ini..
Sesampainya
di rumah doi, gua disambut oleh Mamanya, abang dan kakak iparnya. Sepertinya
mereka sudah siap dengan kedatangan gua. Dari ini gua bisa menilai, keluarganya
adalah type keluarga yang terorganisir. Dan gua mulai merasa atmosfir sebuah
rencana yang memang disusun dari awal gua pengin berkunjung ke rumahnya. Ketika
duduk di depan tokonya, gua duduk tepat di depan hadapan Mama doi, di samping
sebelah kiri ada abangnya yang seperti body guard siap untuk bertindak apapun jika
gua macem-macem. Lalu di sebelah kanan gua ada dia yang siap mendukung gua
dengan sejuta pertanyaan Mamanya. Nampak memang sudah disusun rencana ini
sebelumnya, karena sudah nampak dari susunan tempat mereka duduk. Dari awal gua
memang sudah siap untuk ini...
“Gini.
Saya sih tidak perduli pacar dia itu suku apa saja, tapi saya maunya dia itu
seiman” Kata nyokap doi dengan logat jawa sedikit bercampur nias.
“Ia
buk. Saya ingin menjalani hubungan dengan anak ibu secara serius. Meskipun kami
berbeda tapi saya tidak pernah memaksakan apapun yang saya percayai ke dia”
Sambung gua dengan nada sesopan mungkin. Karena gua tidak mau ada pihak yang
sakit hati. Dan memang benar. Meskipun kita beda, gua baru menyadari hal itu
beberapa minggu sebelum pertemuan dengan mamanya, gua tidak pernah sekalipun
memaksakan dan mengatakan “kamu harus ikut agamaku” tidak pernah sekalipun. Gua
juga menghargai apa yang dia percayai.
“Ia,
tapi saya harap kamu yang ikut dia dan bukan anak saya yang ikut kamu
(maksudnya pindah agama).” Sambung nyokapnya dan membuat gua harus berfikir
berjuta kata untuk menjawab pernyataan ini. Gua terdiam sejenak dengan otak
yang hampir menyerah berfikir.
“Saya
akan ikut agama anak ibu. Jika itu benar” Tandas gua dengan bahasa yang
demokratis.
“Anak
saya ini taat agama. Setiap hari dia membaca alkitab. Saya bangga dengannya”
lalu semua hal berjalan mengharukan setelah nyokap doi teringat oleh almarhum
suaminya. Setelah adegan mengharukan itu, kita berlalu pergi. Di jalan. Gua
menghela nafas panjang menandakan satu cobaan terlewati hari itu. Gua sadar, di
masa depan. Hubungan kita jauh lebih sulit dari ini. Ada tembok kaca yang coba
kita hancurkan, tapi tak tahu entah sampai kapan tembok kaca itu kami bisa
pecahkan.
Penolakan Pertama
Hubungan
gua mulai mendapatkan penolakan. Orang yang pertama kali marah besar gua
pacaran dengan cewek beda agama adalah Ferina. Ferina bukan seorang muslim,
namun dia sangat melarang gua yang seorang muslim untuk menjalin hubungan
dengan dia.
“Lu
itu anak pertama Reby, lu itu punya adik yang nyontoh elu. Terus siapa yang
akan pindah? Dia? Udah jelas emaknya ngelarang. Jadi elu? Enggak kasian lu sama
adik-adik lu yang butuh sosok abang sebagai contoh?” Tandas Ferina dengan
tatapan serius. Balik lagi, namanya cinta, biarpun malaikat yang memberi tahu,
tetap saja ngeyel.
“Ia,
gua yang bakal pindah agama. Biar aja. Kenapa emangnya? Gua udah cocok sama
dia” Lawan gua ke Ferina penuh egois. Sebenarnya gua tidak mahu mengatakan hal
seperti itu, gua hanya kebawa emosi sesaat. Setelah perdebatan hari itu, gua
dan Ferina saling cuek sampai dua minggu lamanya. Egois gua membuat gua
mengabaikan Ferina, sahabat terbaik gua yang entah bagaiaman gua harus minta
maaf. Maafin gua yah Ferina...
Penolakan
bukan hanya datang dari Ferina, Bibi gua, dia adalah orang yang berperan
sebagai tukang sortir cewek yang sedang gua dekati. Sekali dia bilang tidak,
maka hal itu akan berpengaruh ke emak gua. “Cari yang seiman. Biar enggak
susah, nanti kalau yang enggak seiman payah. Lihat itu Pak Regar, mau berkunjung
ke rumah mertua aja susah” Tutur bibi dengan tatapan serius.
Dan
benar saja. Emak gua di rumah selalu membuat gua berusaha untuk bisa
meyakinkan. Gua melakukan pendekatan yang baik untuk emak gua bisa menerima
wanita yang gua pilih. Sebuah jalan buntu yang gua coba untuk terobos. Ibu gua
cuman bilang “Yaudah, jalanin aja, berteman aja dulu” ketika gua mencoba
meyakinkannya.
Senjata
itu siap untuk menembak kepala gua...
Meski
banyak penolakan di dalam hidup gua, gua tetap merahasiakan hal itu dari dia.
Gua tidak mau dia merasakan susah seperti apa yang gua rasakan. Cukup gua saja.
Biar gua dulu yang menghadapi berat hubungan ini karena ini dunia gua. Dan dia
yang menghadapi penolakan dari keluarganya, gua tetap akan ada di sampingnya.
“Sayang,
aku enggak tahu loh orang tua sayang itu setuju enggak sama aku” Seru dia
ketika kita sedang dalam perjalanan ke kampus.
“Tenang
aja. Orang tuaku setuju-setuju aja sama kamu” Lanjut gua meyakinkan.
Sekali
lagi. Kamu tidak perlu tahu aku berjuang untuk meyakinkan mereka. Nanti kamu
ikut sulit.
Sebuah Tatapan
Sore
itu di hari minggu lelah. Kita baru pulang dari kampus, dan gua serta dia
bersiap untuk pergi ke gereja. Meski gua muslim, jujur gua dari dulu berharap
belajar agama orang lain langsung bukan dari buku. Karena akan sangat malas
membaca. Dan saat bersama dia, gua menyempatkan diri untuk bisa belajar
agamanya. Dan sore itu, kita sudah mau siap berangkat beribadah. Namun ada yang
berbeda dari suasana keluarganya. Gua merasa dijauhi. Entah apa alasannya namun
waktu itu gua merasa ada yang aneh. Berdiam diri di kedai, seperti beberapa
tahun yang lalu saat pertama kali gua ke sini. Di hadapan Mamanya dan itu
adalah percakapan pertama kita. Kita sudah amat jauh untuk menyerah.
Benar
saja feeling gua. Sesaat setelah sampai di rumah, duduk, dan saat itu gua
dipanggil ke dalam rumah. Gua yakin bakal diintrograsi tentang keseriusan gua.
Menagih gua kapan untuk beralih keyakinan. Gua hanya bisa mengatakan “Saya
tunggu persetujuan ibu” setiap kali ditanya. Gua tidak pernah menjanjikan gua
akan beralih keyakian. Dan awal mula gua hanya mengatakan “saya akan ikut agama
anak ibu kalau agamanya benar”. Sangat tidak mungkin gua beralih keyakinan
hanya untuk sebuah hati.
Mungkin
bagi kebanyakan orang, lebih baik berpindah keyakinan daripada berpindah hati.
Gua tidak mau, menghianati pencipta gua hanya demi sebuah ciptaan.
Setelah
diintrograsi dengan beberapa pertanyaan dan tatapan sinis, gua tidak tahu
mengapa. Namun itu adalah pertanda mereka menginginkan gua menyerah. Dan gua
tetap bertahan. Bertahan demi sebuah hati yang gua perjuangkan.
Hasil dari sabar
Bukan
berarti perjuangan gua tidak ada hasilnya, setelah satu tahun lebih, ia, selama
itu, akhirnya gua mulai diterima di dalam keluarganya. Gua sering disuruh
menginap oleh Mamanya dan tidur bareng adik laki-lakinya. Main kartu dan kena
coret di muka, meski tidak diterima secara penuh. Namun ini adalah buah dari
kesabaran. Walau begitu, bukan berarti semua lancar-lancar saja. Masih ada saja
cobaan dihubungan kita. Gua hanya bisa tetap bertahan dan bersabar, lalu
berjuang sesuai kemampuan gua. Entah apa yang akan terjadi di masa depan nanti,
gua berjalan layaknya orang buta dan terus berjalan yakin akan sampai pada
akhir cerita bahagia. Meski semuanya tidak sesua kenyataan.
Mulai takut berkunjung
Awal
tahun 2015 gua melewatkan tahun baru sendirian di rumah dengan persaaan yang
hancur. Pada kasus ini, gua hanya bisa diam dan tak tahu mau berbuat apa. Lisan
gua tidak bisa mengatakan putus. Gua hancur karena sebuah kebohongan. Tetapi
tetap cinta.
Waktu
terus berlalu, dan masa-masa kuliah mulai semakin sulit. Gua mulai memasuki
masa yang paling ditakuti oleh mahasiswa. Musim Skripsi. Gua sudah punya judul
yang harus di ACC ke pembimbing, namun lanjut dari judul itu, gua harus menyelesaikan
Proposal yang membuat gua harus berhujan-hujanan untuk bimbingan, dan menempuh
jarak yang cukup jauh untuk ke kampus. Karena kesibukan itu, gua jarang
berkunjung ke rumahnya lagi. Bisa dihitung jari. Karena kerjaan gua di kantor
juga yang membuat gua tidak bisa berkunjug. Lalu ada alasan lain. Gua mulai
takut berkunjung ke rumahnya. Gua mulai merasa tidak nyaman. Entah karena
kejadian awal tahun 2015 itu atau karena terlalu seringnya gua mengalami
tekanan oleh keluarganya. Meski gua mulai diterima, namun tidak sepenuhnya.
Jalan
buntu itu mulai menyulitkan gua....
“Mama
nanyain sayan terus, kenapa enggak pernah ke rumah lagi” Katanya dengan
handphone ditelinga gua.
“Ia,
Reby banyak kerja, nyusun proposal, ini itu, bilang ke mama yah” Tandas gua
singkat.
“Ia,
aku juga tahu sayang mulai bosan dengan sikap Abang aku, makanya sayang enggak
pernah ke rumah lagi” Lanjutnya.
“Ia,
gimana yah, reby enggak mau kenapa-kenapa. Soalnya kalau bapak tahu Reby
diapa-apain orang, bisa lenyap orang itu” Dengan tarikan nafas “Reby enggak mau
abang kenapa-kenapa”. Hal ini mengingat dulu bokap pernah bawa pedang panjang
ke orang yang megang kepala gua karena suatu alasan. Bokap gua pernah bilang
“Enggak ada yang bisa nyakiti keluargaku, dia bakal aku cincang”. Bokap gua mantan
preman. Walau sekarang malah seperti pelawak gagal di rumah. Hehehehe.
Tak Seperti Harapan
Hubungan
gua sudah hampir dua tahun lamanya. Bahkan disaat seperti ini, rasa sayang gua
mulai bertambah. Kejadian di awal januari mulai gua lupakan. Kita seperti dulu
lagi, dan lebih sering bercanda. Walau hubungan gua dan dia berat, tidak pernah
sekalipun kita lewatkan waktu untuk bercanda. Ketika gua bosan dengan hari-hari
gua, dia selalu menghibur gua via suara. Walau pada akhirnya gua cuman diem.
Gua selalu bahagia ketika bisa ngobrol dengannya. Wanita yang selalu memotong
kuku gua, membersihkan telinga gua, kadan sampai ketombe gua pun dia yang
bersihin. Bagaimana bisa gua pergi kalau dia seperti itu? Tapi balik lagi.
Sekeras apapun kita mencoba, jika pada akhirnya perpisahan adalah jawaban dari
semua ini. Mau bilang apa?
Saking
sibuknya gua, kadang gua sering mengabaikannya, apalagi kita memang jarang
bertemu. Gua saja sampai mengabaikan kuliah jika urusan di kantor terlalu
padat. Gua harus punya banyak cara untuk membagi waktu terhadap dunia gua. Dia,
kantor, dan keluarga. Meski kadang gua lupa membagi waktu dengan diri sendiri.
Memasuki
pertengahan 2015, ketika bulan puasa di bulan juli. Itu adalah hari pertama
kita bisa buka bersama. Dulu gua sering menyempatkan diri untuk bisa berbuka
bersama dia. Meski cuman gua yang puasa. Meski begitu, gua sudah tidak seperti
dulu yang menjemput dia kerumah, namun dia datang ke kost milik Firman untuk
menjemput gua. Kita pergi berbuka puasa bareng ke salah satu rumah makan yang
ada di jalan Panam, Pekanbaru. Di sana kita menghabiskan waktu dan mengobrol,
ketawa bersama, tidak tahu apa yang terjadi pada esok hari. Kita tetap
menjalani hubungan dengan baik. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa
membuat gua tertawa terbahak-bahak sampai susah nafas. Sampai detik ini, gua
belum menemukan wanita yang bisa membuat gua tertawa seperti dia lakukan ke
gua.
Ketika
selesai makan dan kita langsung pulang ke rumah, tidak seperti dulu ketika
makan kita mengelilingi kota Pekanbaru lalu pulang. Hari itu gua lelah. Karena
sebelumnya gua buka bareng dengan teman rekan kantor, orang yang ada dicerita ini.
Ketika sampai di kost Firman, kita berpisah. Tanpa gua sadari. Itu adalah
terakhir kita makan bareng sebagai sepasang kekasih. Di hari minggu yang
dulunya gua selalu senang akan kehadirannya karena bisa bersama dia. Dan
akhirnya. Di hari minggu itu adalah hari terakhir untuk bisa bersama dia
sebagai sepasang kekasih.
Seninnya
setelah pulang dari kantor, gua balik ke rumah orang tua gua yang tidak terlalu
jauh dari rumah dinas gua. Di situ sudah ada bokap dan nyokap gua, serta adik
gua yang sedang menyetrika baju gua, karena lelah, gua duduk di antara mereka.
Dengan handphone di tangan, gua mulai bercerita.
“Eh,
bu, kemaren aku abis keluar sama temen kantor aku, ni anaknya” Kata gua sambil
menyodorkan handphone.
“Loh,
bang, kok kayak cewek yang pernah ibu mimpi ketemu dia. Abang bawa dia ke rumah
dan ngenali dia ke ibu” Tutur nyokap memandang foto dengan seksama. “Tapi
entahlah yah” Lanjut nyokap masih menatap layar Handphone. Bokap yang ada di
samping turut melihat, adik gua yang tadinya menyetrika pun bangkit dari
tempatnya.
“Anak
mana bang?” Tanya bokap.
“Anak
Bandung, dia mandiri loh, aku salut, dengan usianya yang baru segini, dia jauh
dari orangtuanya. Keren yah” Tutur gua ke bokap.
“Kalau
ini baru namanya cewek bang. Ibu padahal tiap sholat selalu beroda biar abang
enggak sama pacar abang yang sekarang” Lanjut nyokap dengan nada santai. Dan
gua cuman terdiam tak tahu harus berkata apa. Dua tahun. Dan selama itu nyokap
gua baru mengatakan ketidak setujuannya ke gua meski dengan tata bahasa yang
berbeda. Setelah mengambil handphone dari nyokap. Gua kembali ke kamar. Dengan
tatapan nanar. Gua mulai tidak tahu harus seperti apalagi hubungan gua...
Beberapa
hari setelah ibu gua mengatakan hal itu, gua mencoba duduk dan meyakinkan
nyokap.
“Tapi
dia berniat untuk masuk islam bu” Jelas gua ke nyokap semampu gua.
“Tetap
aja enggak bisa bang. Susah nanti kamunya. Banyak cobaannya” Seru nyokap meyakinkan
gua.
“Jadi
aku harus gimana? Apa aku harus akhiri sekarang?”
“Jangan
dulu, berteman dulu aja. Dia nanti sakit hati kalau tiba-tiba kamu putusin”
Sambung nyokap.
“Tapi
aku enggak bisa lah Mak, mana bisa aku terus tutupi hal ini dan pada akhirnya
bakal tetep enggak bisa sama” Gua mencoba meyakinkan diri dan nyokap.
“Yaudah,
gimana bagusnya abang aja” Lalu nyokap berlalu. Gua hanya bisa diam dan tidak
tahu harus apa. Gua sudah sering meyakinkan nyokap selama dua tahun dan nyokap
gua masih tidak bisa merestui gua dan dia. Gua tahu, jika gua melanggar apa
yang nyokap gua katakan. Akan berakibat fatal. Tidak mau diusir untuk kedua
kalinya hanya gara-gara perempuan. Dan gua kapok melawan nyokap gua.
Entah
harus bagaimana, gua menguatkan diri untuk siap-siap berpisah.....
Akhir Dari Cerita Panjang
Juni,
2015. Akhir dari semua yang gua bangun selama ini. Tidak ada orang ketiga di
hubungan gua dan dia yang membuat hubungan kita berakhir. Meski waktu itu gua
mengenalkan teman kantor ke orang tua gua, bukan berarti gua suka dia,
melainkan gua pengin pamer ke mereka, gua punya temen kantor yang luar biasa
mandiri. Siapa yang tidak bangga punya teman seperti dia? Gua sudah terbiasa
berteman dengan banyak wanita. Namun tidak dengan hati. Entahlah mungkin orang
akan berfikir hubungan ini berakhir karena orang ke tiga atau apa. Gua hanya
tidak ingin berdebat masalah ini.
Malam
itu gua siapkan diri, setelah pulang dari kantor, dengan badan hampir lelah,
gua memandang handphone. Masih ada foto gua dan dia di wallpaper handphone. Itu
adalah malam ke dua setelah kita merayakan hari jadian kita untuk yang ke dua
tahun. Malam jadian yang tak seperti dulu senangnya ketika tahu kita sudah
bersama selama setahun.
“Ada
yang Reby harus omongi, lewat telphone aja” Ketik gua via sms..
“Oh,
yaudah sayang, telphone lah” Balas dia.
Beberapa
hari sebelum putus, gua jarang BBM, sms, dikarenakan gua benar-benar dalam
dilema. Alhasil, selama satu minggu sebelum putus, gua jadi orang yang dingin
ke dia..
Setelah
gua jelasi ke dia bagaimana ibu gua dan hubungan kita, dia mulai terdiam,
teriak kaget. Dia seakan tidak percaya apa yang gua baru ucapkan.
“Ha?
Jadi gimana? Please sayang, bawa aku ke rumah biar aku yakinkan ke ibu aku
pantas bersama sayang” Mohon dia dari sebrang telphone.
“Enggak
bisa, ibu kalau sekali bilang enggak, tetap enggak” Sambung gua.
Dia
terdiam, lalu seperti menahan tangis.
“Jadi
gimana? Aku enggak mau putus sama sayang”
“Tapi
Reby enggak bisa ngelanjuti hubungan ini. Reby udah lelah untuk meyakinkan
mereka. Kita udah enggak bisa sama-sama lagi” Lalu setelah percakapan cukup
panjang, akhirnya, saat itu juga hubungan kita berakhir. Menatap layar buram,
dengan Wallpaper foto yang kita ambil satu setengah tahun yang lalu, tidak
sadar kalau kita akan berakhir seperti ini. Berakhir di dalam kamar gelap gua
dengan perasaan yang bercampur aduk. Gua terpaksa kehilangan dia..
Jujur,
gua sebenarnya tidak mau putus. Gua pengen terus menjalani hubungan dengan dia.
Gua lelah untuk memulai dari awal, memulai seperti dulu. Membaur dengan
keluarga, membaur dengan dunia dia, dan semua harus dimulai dari awal lagi. Gua
sudah terlalu lelah untuk itu. Namun, karena gua takut ibu gua bertindak
seperti dua tahun setengah lalu, ketika dia sangat tidak mahu gua berpacaran
dengan wanita yang dia tidak sukai, nyokap nyeletuk “Kalau abang masih pacaran
sama dia, abang jangan tinggal di rumah ini lagi”. Gua tidak mau kata-kata itu
terucap lagi. Dulu gua saking bandelnya, sering ngebuat nyokap gua nangis,
sekarang, gua tidak mau hal itu terjadi lagi. Gua tidak mahu hanya karena gua
yang terlalu egois, emak gua nangis lagi seperti dulu...
Bukan
durasi ternyata yang membuat suatu hubungan itu kuat, tapi orang-orang di
sekitarnya. Itu yang dulu pernah gua tulis untuk teman gua yang putus di cerpen
ini.
Dan
akhirnya, kata-kata itu gua tulis untuk gua sendiri. Terkadang cinta datang
ketika kita tak ingin mencari, dan kadang dia pergi ketika kita tak ingin
sendiri. Cinta memang seperti itu. Batu ujian yang diberikan Tuhan agar kita tak
gampang melupakannya hanya karena mahluk yang dia ciptakan. Dulu gua sering
melakukan kesalahan besar ketika bersama dia. Lupa bahwa Tuhan juga melihat
kita. Lalu Tuhan menjauhkan kita seperti saat ini. Bukan karena Tuhan berniat
tidak baik, tapi agar kita berdua dijauhkan untuk hal yang lebih baik.
Setidaknya, tidak ada kesalahan yang terulang seperti dulu. Kita sudah terlalu
jauh, bahkan terlalu kelewat batas. Dengan ini. gua harap, kita belajar betapa
menjalani hubungan terlalu egois akan berakibat fatal. Sudahlah, semua sudah
berakhir. Apapun yang terjadi, kita tak akan bisa seperti dulu. Kangen? Ia,
tapi untuk kembali tidak. Kadang bahkan sampai saat ini, 10 Oktober 2015, gua
masih rindu bercanda dengan dia, namun tidak untuk kembali. Ada perasaan yang
hilang dari hati gua. Perasaan untuk bersama.
Rasa
dalam hati kita kepada seseorang di masa lalu tidak akan pernah pergi. Namun,
lama kelamaan, rasa di dalam hati itu hambar. Dia ada, tapi sudah tidak seperti
dulu. Seperti permen karet yang telalu lama dikunyah, lama kelamaan dia tak
terasa.
Setelah Semua Berakhir
Gua
masih sering ketemu dia, gua pernah minta tolong dia untuk mengantarkan gua ke
mini market pada akhir agustus 2015, lalu mengantarkan gua untuk membeli
handphone baru, pengganti handphone nokia yang selama pacaran gua pakai untuk
menghubungi dia. Gua tetap menjaga hubungan baik dengannya, karena gua tidak
mau, yang dulunya sayang-sayangan, sekarang malah anjing-anjingan. Setidaknya,
kita dulu pernah saling mencintai, dan ketika tak bisa bersama, bukan berarti
kita harus saling membenci.
“Kan
Reby. Gua udah bilang sebelumnya, lu mah bego, masih aja mau pacaran sama dia”
Kata Ferina ketika gua curhat dadakan ke Gymnya di salah satu jalan yang ada di
Pekanbaru.
“Ia
Fe, Gua minta maaf, gua bego banget enggak dengerin apa yang elu bilang dulu”
Lanjut gua menatap ke lantai. Kita saling berhadapan. Gua melihat Ferina, sama
seperti dulu gua melihat dia menasehati gua untuk tidak melanjutkan hubungan
ini. Terima kasih Ferina, sudah mau membuang waktumu untuk gua yang selalu
ngeyel. Enggak bakal ngeyel lagi kok. Janji. Hahaha..
Setelah
gua putus, orang-orang yang dekat dengan gua kaget, bos gua yang pernah
sekantor sampai menelphone dari Kalimantan dan memarahi gua kenapa gua tega
memutuskan dia, namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur berakhir. “Bang,
mantan kamu itu, kemaren ngirim surat buat ibu” Kata bokap dari sebrang
telphone. “Ha? Apa isinya?” Tanya gua kaget. “Entar abang baca sendiri isinya
apa” Lanjut bokap. Dan sejak detik ini, gua belum tahu apa isi surat itu. Dan
saat titi terakhir dari tulisan ini. Gua sudah menjalin hubungan dengan orang
lain. Orang yang datangnya tak pernah gua duga sebelumnya..
NB:
Gua cukup menguras isi kepala ketika menulis ini, mengingat-ingat kejadia di
masa lalu, memilah mana yang harus diceritakan atau tidak. Bahkan sampai gua
BBM mantan gua bertanya gimana dulu gua nembak dia. Hahahah. Gua mulai lupa
masa itu. Kemaren gua janji ke diri sendiri kalau single dairy yang pertama
tembus 100 orang pembaca, gua bakal langsung upload tulisan ini, eh, boro-boro
ngelanjuti, tulisan ini gua angguri karena kesibukan di kantor. Kalau isitilah
manusia, cerpen gua udah mulai jenggotan karena enggak gua peduliin. Setelah
gua mantabkan diri, sambil mendengarkan lagu Leave Your Lovernya Sam Smith, gua
memantabkan untuk menyelesaikan tulisan ini. Kali ini gua mengurangi
lucu-lucuan di tulisan gua. Biar berasa nyeseknya. Sorry kalau disalah satu
sesi paragraf kalian menemukan titik jenuh untuk melanjutkan membaca, mungkin
saat itu gua juga sedang jenuh menulis. Thanks buat kalian yang masih mau baca
curhatan gua. Salam nyasar. Muaachh *Cipok Basah*.
Ngena,reb. Ngena bgt💔 Coba jatuh cinta sama gua deh ren💕💕 uhukkkkj😂😁
BalasHapusWkwkwkwk. Kampret luuu..... Tumben lu nyasar di blog gua. Kesambet?
BalasHapusGood job mas.. Nice story of love.. So inspiring.. Keep writing.. :)
BalasHapusWuuhh. Ada yg mampir jugak nih. Iaa. Thanks kaniaa....
BalasHapus