Obout Me

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 09 Oktober 2015

SINGLE DAIRY (KAMI SEBUT MEREKA “MANTAN”)






“Pergi, satu kata yang tak ingin ku nanti. Pergi, layaknya jasad kaku yang kehilangan nyawa, itulah yang dirasakan hatiku saat membiarkan mu pergi. Seperti detik yang telah berlalu dan tak bisa kembali. Kita terasa seperti itu. Pergi, aku ingin mengulangi kembali masa itu, masa di mana kita menjadi satu dan tak pernah terpikir sebuah perbedaan dan kekurangan, namun kamu sudah pergi. Sekarang tanganku tak menggenggam, jasad ku hampir tak bernyawa, arahku hilang. Untuk berfikir menemukan kamu yang baru aku takut pergi datang lagi. Biarlah pergi menjadi sebuah misteri. Dia akan berhenti ketika aku mati”

Mungkin puisi itu yang bisa menggambarkan bunyi ketikan ini, terpejam mengingat-ingat kenangan seakan melawan lupa. Gua. Terbujur tegang menatap langit-langit kamar gelap. Baunya kelelawar tak bisa mengalahkan perasaan pedih seakan baru mati. Putus. Seolah tak ada kata lain. Menatap hand phone dengan layar yang mulai buram. Hubungan kita seperti layar itu... Gua terpaksa mengakhiri..
Satu kata terucap dari terpaksanya bibir mengatakan. Kita sudah bukan kita lagi sekarang. Aku adalah aku sejak beberapa detik berlalu setelah terucap putus. Dan kamu, adalah sebuah coretan masalalu yang menjadikan hidupku seakan ada jutaan kaleng cat yang tumpah. Bahagiaku harus aku akhiri.

Itu adalah sepotong perasaan gua ketika baru putus. Gua tidak sendirian, ada banyak orang yang sudah gua kenal mengalami hal yang sama seperti apa yang gua rasain. Mengapa harus jadian kalau pada akhirnya putus? Hanya itu yang bisa terucap di benak.

Di penghujung tahun 2012 dan triwulan pertama tahun 2013. Gua kehilangan dua sekaligus wanita. Yang pertama di penghujung tahun 2012, dan beberapa bulan gua putus, ada seorang wanita yang entah mengapa dia yang mengajak pacaran duluan. Baiklah. Kata gua sambil tersenyum. Mengapa tidak, tak perlu terpuruk, meski ini adalah pacaran terlama dalam hidup. Tiga bulan. Ia, itu adalah rentang waktu yang cukup lama pernah gua rasain saat menjalin hubungan dengan seorang wanita. Tak masalah, mana tau dia yang mengajak gua pacaran bisa jauh lebih lama dari ini. Seperti kucing yang dipilih dalam karung. Kita memulainya.

Bulan Pertama

Awal mula kita pacaran itu terasa tidak begitu nyaman, dia jarang menghubungi, jarang membalas pesan singkat gua. Setelah dia menjelaskan apa yang terjadi. Gua mengerti. Dia sedang mengalami sulit. Ibunya sakit. Dia harus menjaga ibunya dari pagi hingga pagi lagi, Memang tak ada waktu untuk hanya sekedar membalas pesan.

Dia adalah sosok wanita yang lebih tua dari gua tiga tahun. Berambut panjang, hidung agak besar, wajahnya kental batak, dia adalah pacar pertama bersuku batak. Awalnya, gua berharap, pacaran dengan wanita yang lebih tua dari umur gua, dia bisa mendewasakan dan bisa lebih dewasa dari wanita sebelumnya. Mungkin sebuah keinginan yang berlebih, akan dibayar oleh kecewa yang berlebih juga. Semua tidak sesuai harapan.

Pada bulan pertama, kita mulai menjalani proses pendekatan emosional, dia menceritakan tentang dirinya. Di atas sebuah ruko milik Firman teman yang sudah gua kenal dari SMP, di jalan Panam, Pekanbaru, sambil menatap bintang terbujur lelah, dia sedang semangat bercerita dari seberang telpon. Gua sebagai pendengar tersayang yang setia hanya bisa memberi respon tertawa jika dia sedang asik dan terlalu bersemangat bercerita. Yang bisa gua ceritakan sedikit tentang hidup gua mulai dari mantan yang dia memang sudah kenal karena satu tempat kerja, hingga kuliah.

Pada bulan-bulan ini, sebenarnya gua masih ragu dengan hubungan yang terlalu singkat ini. Gua belum pernah sekalipun PDKT dengannya, kita memang pernah ngobrol berdua, jalan bareng, nganterin dia ke rumah teman tepatnya, dan gua juga tidak menemukan hal yang menarik dalam hidupnya. Semua biasa saja. Bagi gua, tidak ada cinta yang datangnya tiba-tiba. Kebanyakan nafsu. Dan mungkin ini adalah kesalahan awal gua nerima ajakan dia berpacaran.

Bulan ke dua.

Ini adalah bulan kedua kita pacaran, di bulan ini. Hubungan kita sudah mulai semakin dekat. Gua merasa sudah mulai cocok. Dan di bulan ini. Kondisi ibunya semakin memburuk.

“Sayang, ibu itu kondisinya semakin memburuk” Kata dia di sebrang telpon hawatir.

“Kok kenapa enggak dibawa aja ke rumah sakit?” Tanya gua kembali.

“Besok, abang bilang gitu. Kasihan ibu, dia enggak bisa tidur. Badannya panas banget. Dan satu hal yang ngebuat aku kepikiran terus” Lanjutnya lirih.

“Apaan?”

“Ibu pengen aku cepet-cepet nikah sayang”


Hening
 
Masih hening beberpa saat.

“Nikah?” Gua kehabisan kata.

“Ia, ibu takut dia enggak bisa lihat aku nikah. Aku kan anak terakhirnya. Dia pengen lihat aku setidaknya nikah” Sambung dia dengan nada paling rendah yang pernah gua dengar dari mulutnya.

Umur aku masih 21 tahun. Masak aku nikah di usia segini? Tanya gua di dalam hati.
Suasananya masih hening.

“Yaudah, entar aku bicarain sama bapak” Sambung gua seadanya setelah lama berfikir.

Seperti hantu yang keluar di siang bolong. Perkataan nya membuat gua gusar. Seorang anak berusia 21 tahun yang belum cukup siap untuk sebuah pernikahan. Gua dalam dilema besar. Orang satu-satunya yang dapat memberikan jalan keluar adalah bokap. Dia paling tahu bagaimana bertindak layaknya seorang laki-laki.

“Pak. Masak. Aku ditodong secara enggak langsung. Dia mau nikah, alesannya karena ibunya sakit parah dan hampir sekarat” Ungkap gua ke bokap dengan tatapan nanar.

Dibarengi satu kali hisapan rokok, dengan tatapan menuju arah tivi, bokap menjawab “Kapan maunya?”.

“Secepatnya” Jawab gua seadanya.

“Coba tanya sama dia, kapan, bilang aja, kalau bisa pertengahan tahun” Lanjut bokap santai. Yang dimaksud bokap adalah bulan 5 atau 6 tahun 2013.

“Tapi pak, orang batak itu pake sistem beli, enggak kayak kita, orang jawa, wong kita aja nikah pake uang sepuluh ribu itu udah bisa, lah mereka? Cemana?. Apalagi dia cerita, kemaren ada yang nikah, emak dari mempelai perempuan sampe minta ladang dua hektar. Dua hektar pak. Itu butuh duit banyak” Seru gua semakin panik.

“Entarlah, bapak tanyak ke temen, gimana caranya nikah adat batak. Yah itu bukan masalah. Semua bisa dirembukkan. Kan sekarang tergantung si ceweknya, dia bisa ngelobi keluarganya enggak. Kalau kalian sama-sama cinta, pasti bisa lebih gampang” Lanjut bokap masih dengan tatapan santainya. Gua manarik selimut, tanda hampir menyerah.

Keesokan harinya, duduk di atas teras rumah, malam hari, pukul 19.30 Wib dengan fikiran yang masih berkecamuk. Gua telpon dia..

“Bokap aku setuju, kalau kita bakal nikah” Kata gua dengan sejuta kebingungan.

“Oh, syukurlah. Tapi orang batak kalau nikah mahal loh. Hehehehe” Dia menimpali dengan canda.

“Yah, sayangkan bisa kompromi sama keluarga. Seberapapun aku bisa kok nikahin kamu, tapi, apa enggak sayang nikah mahal-mahal? Toh, nikahkan cuman sehari doang, bagus uangnya ditabung” Sambung gua. Malam ini adalah untuk pertama kalinya, dalam hidup gua, membicarakan pernikahan dengan seorang wanita, secara serius. Dia juga meminta dikirimkan foto gua untuk diperkenalkan dengan keluarganya. Ia, kita Long Distance, dia berada di Sumatra utara, gua di Riau. Hubungan kita baru dua bulan dan gua ditodong untuk nikah.

Pesan singkat

Beberapa minggu setelah obrolan itu, gua duduk di depan komputer, dengan setumpuk data dan kerjaan yang harus diburu selesai hari ini juga. Gua dalam keadaan buru-buru. Di samping kanan gua ada senior yang dari tadi ketawa hasil bercanda dengan senior yang lain, jarak kita hanya 10 jengkal. Hari ini cuaca cukup cerah, meski begitu, gua tetap telat masuk kerja setengah jam, gua punya moto dalam hidup di tempat kerja “Kebanggaan sesungguhnya adalah terlambat masuk kerja, tepat waktu menyelesaikan tugas, dan bisa menipu orang yang lebih tua dan pendidikan lebih tinggi dengan data” sampai sekarang moto itu gua pegang. Kalian jangan ikut-ikutan, gua tidak mau itu. Nanti kalian bisa lebih menonjol di tempat kerja daripada gua. hehehe.

Tidak ada firasat apapun pagi itu. Handphone sedang memainkan “Always” nya Bon Jovi, ditengah lagu, ada pesan masuk. Ini dari dia. Dengan senyum senang, gua berfikir dia sedang bertanya kabar gua hari ini. Tapi tidak. “Ibu sudah tidak ada”. Tulis pesan singkat itu. Gua terdiam. Dengan cepat gua bales sms dan gua tahu, dia tidak akan membalas. Ini adalah masa dimana dia, menjadi anak yatim piatu. Tidak tahu harus berbuat apa. Seperti lelaki yang tidak ada gunanya, gua cuman bisa diam. Menatap monitor lemas.

Berhari-hari berlalu, dia sangat sulit untuk dihubungi, duka yang mendalam membuat dia seolah tidak punya siapa-siapa lagi di bumi. Ketika gua sudah hampir menyerah menghubunginya, dia menghubungi gua balik. Masih jelas suara kesedihan di telinga gua sampai saat ini. “Aku pengen bunuh diri aja. Aku udah enggak punya siapa-siapa. Kemarena aku mau potong pembuluh darah aku, cuman karena sakit, enggak jadi” Kata dia disebrang telpon lemas. Gua yang kaget mendengar perkataannya, langsung menasehatinya, layaknya seorang ustat dadakan, gua menjelaskan kalau orang yang mati bunuh diri, itu akan sulit dikehidupan selanjutnya. “Kamu nanti gentayangan loh” Sambung gua sedikit bercanda. Saat itu kita kembali ngobrol, dia mulai bisa tenang, beberapa hari kemudian, dia mulai bisa tertawa. Gua seneng.

Bulan Terakhir

Sepeninggalan ibunya, kita semakin dekat. Layaknya orang yang benar-benar sedang berpacaran, kita tak henti menelpon. Jarak antara kita yang membuat hubungan ini menjadi sebuah tantangan. Gua tahu, ketika dia sedang sendirian di rumah, dia selalu mengajak sepupunya untuk bermain bersama. Pergi kemana saja. Termasuk mulai pergi dari hidup gua.

“Sayang, kan sayang yang naksir dan ngejer-ngejer aku yakan?” Tanya dia disebrang telpon seperti menahan ketawa.

“Enak aja, kan aku yang kamu tembak duluan, kamu lah yang ngejer-ngejer aku” Sambung gua nahan ketawa juga. Sehabis itu, kita sama-sama pamit mau pergi. Gua dengan Firman, yang sudah siap untuk diajakin makan mie dekat markas TNI – AU di Pekanbaru, dia juga katanya mau makan keluar. Biarlah, dia lebih tua dari gua. Tahu mesti berbuat yang pantas. “Jangan selingkuh yah” Lanjut dia dan berakhirlah telponan kita.

Di bulan ini, maret tahun 2013, hubungan kita yang awalnya di bulan ini semakin dekat, sudah mulai nampak celah kerenggangan. Kadang dia baik, kadang dia mulai cuek. Kan seharusnya gua yang cuek, karena gua yang dia ajakin pacaran. Tapi kenyataannya. Kelemahan gua cuman satu pas menghadapi lawan jenis. Ketika perasaan gua mulai tumbuh, itu tandanya gua mulai tidak bisa menahan perhatian ke pasangan. Ini adalah faktor kelemahan, dan yang kalian tahu semuanya, para lelaki. Perempuan itu tidak suka bila terlalu diperhatikan.

Telpon tidak diangkat. Itu adalah tanda awal dia sedang ingin menjauh dari gua. Dua bulan lagi dari rencana gua mau melamar dia dan menikahi dia, mulai terasa itu tidak akan pernah terjadi selamanya. “Sedang tidak ingin mengobrol” dia malah menulis status itu di facebook. Meski kejadian itu sudah dua tahun lamanya terjadi, gua masih tetap ingat sampai tulisan ini gua buat. Kita bisa mencintai seseorang yang belum tentu mau dengan kita. Artian, cinta yang dipendam. Namun, kita tidak bisa mencintai seseorang, yang awalnya orang itu seakan memberi tempat untuk kita bisa cintai, setelah itu dengan angkuh dia menggusur keberadaan kita penuh egois.

Suara terakhir

Dengan usaha yang gua lakukan meski harus berulang kali nelpon dia, entah dia bosan dengan gua yang selalu berusaha mencari penjelasan dengan sikap dia, akhirnya dia mengangkat telpon tersebut. Kita mengobrol bentar, setelah dia berkata sedikit sinis “Udah yah, ada abang itu dateng, enggak enak sama buk de” (sebenarnya dia sedang menyebut buk de dalam bahasa batak, tapi gua lupa) lalu telpon berakhir. Gua tidak tahu siapa yang dia maksud dengan abang itu, yang jelas saat itu dia sedang berada di rumah buk de nya, sebelum dari itu memang dia pernah sms kalau milih tinggal di rumah buk de ketimbang rumah sendiri. Karena sepi.

Telpon malam itu terasa sangat berbeda. Gua sedang menghadapi dingin hatinya. Entah karena apa. Tapi, gua merasa karena memang ada orang lain. Entah siapa dia, karena jarak yang terlalu jauh, seolah-olah semua dia bisa lakukan di belakang gua. seolah-olah dia berhak mendua, dan berfikir tidak masalah dia lakukan seperti itu. Dan seolah-olah, dia memacari laki-laki yang Tuhan tidak anugrahkan dia perasaan. Dia mulai keterlaluan.

Status BBMnya, membuat gua berfikir, semua ini mulai aneh. “I Love You too” dengan emoticon seperti mencium. Tidak ada mengucapkan sesuatu. Kata gua dalam hati, tapi kenapa dia membuat Personal Message seperti ini?. Saat itu gua sedang siap-siap berangkat kerja. Di depan ada meja belajar yang sudah gua miliki dari SD. Meja belajar di mana pertama kali gua mulai belajar menulis cerpen. Ibu dari tadi mondar-mandir menyiapkan semua kebutuhan adik-adik gua. Sedangkan yang lain sedang sibuk dengan masalahnya sendiri di rumah. “Itu untuk siapa? Kalau kamu udah nemu yang lain, tinggalin aku, enggak usah kamu paksain terus kayak gini” Tulis BBM ke dia lalu gua pamit kerja ke ibu dan bapak.

Sesampainya di kantor, dia membalas “Jangan marah-marah kayak anak kecil kenapa. Itu cuman buat manas-manasin orang”. Dia berhasil. Kalau maksud dia untuk memanas-manasi orang dan itu gua, dia berhasil. Gua cuman diem. Mungkin lebih baik seperti anak-anak, ketimbang tua cuman di usia, pola fikir berantakan. Gumam gua kesal. Hari itu tidak ada kata maaf sama sekali, baik itu dari gua, maupun dari dia. Egois gua mulai terbangun dari tidur panjangnya. Dia semakin menjadi di Personal Message BBM. Karena malas dengan semua tingkah dia. Gua sengaja membiarkan BlackBerry gua mati. Setelah pulang ke rumah, baru gua hidupkan hape tersebut kembali.

Dia menulis kembali kata “I Love You Too” dengan tanpa menyadari ada gua di kontak BBMnya. Entah hatinya terbuat dari adonan bakwan atau terbuat dari kaleng. Mungkin saatnya harus diakhiri. Fikir gua.

“Baiklah. Maaf kalau selama ini aku terlalu maksain. Kamu yang mengajak aku pacaran. Sebenarnya males, cuman daripada enggak, lebih baik aku memulai. Ternyata bukan suku, yang menjadikan seseorang itu setia. Mau itu Jawa, batak, siapapun itu. Enggak memastikan mereka setia. Okelah, kita akhiri hubungan ini. Aku enggak akan BBM, nelpon, sms ke kamu. Jangan coba-coba nelpon” tulis BBM malam itu. Dan berakhirlah hubungan kita. Pada percakapan beberapa bulan yang lalu, dia pernah bilang ke gua, di atas ruko Firman, malam minggu yang dingin, “Kata ibu, jangan pacaran sama cewek jawa” ucap dia serius. “Kenapa?” Tanya gua penasaran. “Ia, cewek-cewek jawa suka selingkuh” Jawab dia. “Oh, ia sih, tapi bukan berarti karena sukunya, tapi orangnya” Lanjut gua sekenannya. Kita tidak bisa menilai orang, karena suku, atau agama. Ingat, suku dan agama itu tidak diciptakan untuk berbuat  yang tidak baik. Biar itu jawa, batak, biar itu islam, kristen, yang salah itu orangnya. Jadi pas ada orang jahatin kamu, jangan pernah tanya apa agama atau sukunya, karena, ketika kamu menyalahkan satu suku atau agama. Kamu akan berhadapan dengan banyak masalah.

Dia cuman membaca tanpa membalas BBM dari gua. Nampaknya, dia sudah siap untuk ini.
Seminggu setelah putus. Dia mengirimkan rekaman dari BBM suara dia bernyanyi, nampaknya itu di tempat karoke. Lagu Air Supply, Without You, gua sebelumnya pernah bilang ke dia, kalau gua suka lagu Air Supply, entah apa tujuannya, gua cuman membalas “Air Supply, without you. Aku suka ini” dan dia hanya membaca pesan itu. Setelah itu, kita tidak pernah berhubungan sama sekali.

“Suatu hubungan yang dimulai terlalu gampang, akan berakhir lebih gampang”

Entah mengapa, banyak wanita yang beranggapan, pria lebih mudah move on ketimbang wanita. Salah. Semua sama. Hanya saja, laki-laki hidup tidak terlalu mengandalkan perasaan, seperti halnya wanita. Makanya, laki-laki akan sangat menjijikan jika menjalin hubungan terlalu membawa perasaan. Dan wanita akan terlihat sangat murahan jika menjalin hubungan seperti tak punya perasaan. Sehabis close book di kantor, gua mengambil cuti tiga hari untuk menenangkan perasaan gua yang sedang berantakan. Hanya karena putus, gua ngebela-belain cuti. Kalau ada yang bilang gua orangnya gampang move on setelah ini, terserah kalian..

Percakapan Kedua

Tiga bulan setelah putus dari dia, hidup gua normal kembali. Sebelumnya, satu minggu setelah putus, gua ngelapor ke Mei, Ferina, Dea dan temen gua yang gua susah kenal namanya, setelah beberapa minggu kemudian, gua inget, nama dia Mulan, orang yang saat ini gua panggil bebeb karena kejadian setelah dipercakapan ini.

“Guys, gua putus” kata gua dengan tatapan kosong.

“Ha? Kenapa?” Tanya Meily dengan wajah serius.

“Gua diselingkuhin” Jawab gua sekenannya.

“Yaampun, yang sabar yah Reby” Sambung Dea menenangkan.
Lalu, gua, Ferina dan Dea, kita bertiga sekarang adalah jomblo, dan Mei serta Mulan, mereka masing-masing punya pasangan.

“Ah, Mulan, tak joleh (enggak jelas dalam bahasa Minang), masak, dia punya cowok dua” kata Meily serius. Mulan cuman bisa tertawa terbahak. Ia, waktu itu, Mulan punya dua, mungkin lebih, dan semuanya aparatur negara. Mulai dari TNI, Polri, dan entah siapa lagi.

“Eh, kita pacaran aja yuk” Tanya gua ke Mulan bercanda.

“Yuk yuk yuk” Jawab Mulan menahan tawa.

“Besok aku pasang status pacaran sama kamu yah beib di Facebook, buat manas-manasin mantan. Hehehe” Sambung gua dan akhirnya, setelah kejadian itu, gua panggil Mulan dengan sebutan bebeb. Di mana pun, tetep gua panggil dia seperti itu, meski ada dosen, dan itulah kami. Gua seneng berada di antara mereka meski gua cowok sendirian. Gua sayang kalian semua guys.

Siang itu, setelah satu minggu dari percakapan di atas, gua keluar dari kelas untuk menenagkan diri setelah pelajaran jam 15.00 wib usai. Mendapati orang yang banyak sekali berkumpul untuk antri foto copy, gua mencoba ke depan untuk mencari informasi ke temen yang sedang tiduran di mushola kampus. Sembari berjalan ke depan kerumunan orang, gua dikagetkan dengan sesosok wanita yang dulu pernah kenalan dengan gua. Orang yang pertama kali gua kenal di kampus. Dengan senyuman yang khas dan hampir satu tahun kita tidak pernah ngobrol lalu akhirnya gua lupa namanya.

Dengan sebuah kertas di tangan dia, dengan tatapan sambil tersenyum. Gua mengingat. Ini perempuan yang waktu itu kenalan sama gua dan gua pernah sapa dia pas balik dari makan malam. Sembari mendekat ke arah foto copy, dan gua mendekat ke arah teman, saat itu juga, gua seperti ingin berkenalan dengan dia untuk yang ke dua kalinya.

“Eh, hai, Kamu yang dulu itu kan?” Tanya gua basa-basi.

“Eh, hehehe. Ia, apakabar?” kata dia sambil menyodorkan tangan. “Nama Aku (sensor). Siapa nama kamu? Aku lupa” lanjut dia dengan senyuman yang sama seperti pertama kali bertemu.

“Aku Reby, kamu jurusan apa? Aku kirain dulu kamu anak ekonomi juga kayak aku. Hehehe” lanjut gua masih basa-basi.
Setelah banyak berbasa-basi. Gua meminta nomor hape dia, masih dengan senyumannya, dia membacakan nomer hape, dan gua menambahkannya ke kontak yang ada di hape Nokia X 02-01 gua. Setelah dari itu, gua masuk, dengan senyuman najis. Mengarah ke kerumunan wanita yang berperan menjadi sahabat gua. Gua melapor. “Aku baru kenalan ama cewek guys” seru gua tanpa basa-basi. 

“Sama siapa?” Tanya Mei penasaran.  “Siapa yah, gua lupa namanya. Hahahaha” sambung gua, dan yang lain ngebego-begoin gua. “Bentar, kan udah aku save nomernya. Nah, ini” Kata gua memandang hand phone, dan gua bacakan namanya sekalian dengan jurusannya. Siang itu. Rasanya gua tahu siapa yang harus gua hubungi pada malam berikutnya. Dan siang itu. Gua tahu. Dengan siapa gua harus berpacaran selanjutnya. Oh Tuhan. Ayolah, berhenti bercanda lagi….

Di sebrang telpon

Kuliah sabtu dan minggu, membuat gua merasa cukup lelah sebenarnya karena Senin sampai Sabtu, gua kerja. Dulu, tujuan gua kuliah bukan mencari S1. “Aku mau kuliah Firman, tapi biar aku pas jomblo enggak sendirian di rumah, kan kalau kuliah, ada temen jomblo, dan bisa jomblo rame-rame” Saut gua ke Firman. Kita ketawa. Jujur. Kuliah itu adalah pilihan terakhir sebenarnya. Mengingat dulu gua malas sekolah, meski tidak pernah tinggal kelas. Namun, meskipun nampak kurang serius dari luar, gua sudah menyiapkan kuliah gua dari dua tahun yang lalu. Yang pertama. Mempersiapkan diri untuk pergi kuliah tidak ada yang dibonceng. Kedua, mempersiapkan mental pas di kampus kenalan dengan pacar orang dan gua naksir lalu akhirnya ditolak. Oke fine. Itu yang harus gua persiapkan. Selama dua tahun.

“Eh, lu gimana sama anak komunikasi itu?” Tanya Meily memandang BlackBerrynya.

“Astaga, aku lupa ngubungi dia. Hahaha” ia, setelah satu minggu gua dapet nomer dia, gua malah lupa, ada perasaan malas untuk memulai setelah tiga bulan sebenarnya.

“Astaga rebyyy. Lu emang bego dah” Maki Meily dan akhirnya gua ngakak.

“Yaudah, besok deh, senin gua hubungi dia yah”. Lalu kegiatan belajar kita lanjutkan. Seperti hari-hari sebelumnya. Gua malas untuk terlalu berfikir di kampus. Fikiran untuk cepat pulang terus memaksa gua untuk tidak tenang di kelas..
Seninnya, gua belum menelpon dia. Lalu jum’at nya gua telpon dia setelah gua inget kalau ngejomblo itu ngebosenin. Hahaha.... Panggilan pertama, tak terangkat. Gua tunggu sampai beberapa menit kemudia, lalu sms datang “Maaf, hape tertinggal di rumah, tadi keluar bentar” setelah itu kita ngobrol hingga pulsa gua habis. Malam itu adalah pertama kalinya gua kehabisan pulsa yang sebelumnya pulsa Rp. 10.000 bisa tahan sampai dua minggu...

Lalu malam itu adalah malam yang memulai semuanya menjadi jauh lebih dekat. Kita mulai sering saling mengirim text, ketawa-ketawa sendiri pas baca sms, pas lagi makan juga gua sering ketawa sendiri. Mungkin kalau ada patroli rumah sakit jiwa melintas, bisa saja gua kena tangkap. Kasmaran memang sering begitu. Membuat kita terlihat aneh di hadapan orang banyak. Maklum, rasa senangnya sulit dibagi. Tak segampang membagi sedih.

“Oya, kangen kamu. Boleh?” tanya gua setelah seminggu kenal dia. Gua type cowok yang langsung “plak” ketika merasa rindu. Sebaik-baiknya rindu adalah ketika kita ungkapkan. Tak perlu di pendam. Hanya bangkai yang boleh dipendam. Rindu jangan. Biar dia mau anggap apa kita. Yang penting tak ada rasa aneh yang tetap tertahan di dalam hati...

“Boleh enggak yah? Boleh :)” jawab dia. Dan akhirnya gua ketawa sendiri lagi..

Semakin kemari, semakin hubungan kita sudah tidak bisa dibiarkan dalam keadaan “hanya berteman”. Gua pengen melanjutkan hubungan ini ke fase berikutnya. Hanya saja. Gua ragu apakah bisa bertahan lebih lama dan tidak menjadi mantan lagi. Sudahlah. Yang penting tidak jomblo lagi, masalah selanjutnya, serahin ke Tuhan saja. Jangan pernah mengurusin urusan tuhan kalau urusan sendiri saja tak bisa diselesaikan. Gua memantabkan diri...

Cowok itu diwajibkan pandai mengolah kata, lalu membuat dia memancarkan sinyal-sinyal ingin ditembak. Dan gua berhasil melihat sinyal itu. Melihat dia mulai berharap juga untuk next ke tahap berikutnya. Dengan cukuran jenggot di tangan kiri, handphone di tangan kanan. Gua siap untuk pacaran...

Rencana gua susun di hari jum’at, gua mempersiapkan diri untuk sebuah penerimaan, atau alasan basi yang membuat dia tidak bisa bersama gua. Hari itu, jum’at siang yang ngantuk, gua memuat sebuah dikrit anti jomblo. Bahwasannya pacaran adalah hak segala jomblo.

Yah, aku mau bahagia bersama mu.

Sabtu siang, kita sudah membuat janji. Sebelum penembakan, gua mengajak dia makan di nasi padang dekat kampus. Lalu berencana ke taman kota sebentar. Ketika melihat ke samping, gua melihat wanita yang buat gua deg degan, tidak seperti makan dengan Firman yang ketika melihat ke arah dia, gua mau muntah.

Setelah dia setuju dengan rencana gua untuk jalan sebentar ke taman yang ada di salah satu tempat di Pekanbaru, gua memulai persiapan. Deg degan yang ada malahan. Andai nembak bisa pakai calo, hari itu mungkin gua bakal menyewa Vino G Bastian buat dijadiin calonya, sayangnya tidak mungkin. Sesampainya di taman, kita keliling taman sejenak. Jalan beriringan dan terkadang dia tertinggal di belakang, gua baru menyadari ketika gua merasa berjalan sendirian. “Di depan gih, nanti kamu ketinggalan” kata gua ke dia dan gua mulai memperlambat laju jalan.. Menuju gazebo yang ada di taman kota, kita duduk. Menghela nafas. Memandang ke arah dia seperti pelari yang mulai bersiap-siap ambil posisi, gua memulai semua hari itu juga. Gua ingin lari dari semua kesialan ketika gua single, dan gua ingin berlari dari bekas luka masalalu akibat mantan.. Gua memegang tangannya.. Dia menatap mata gua. Monyet. Kata gua dalam hati. Gua gak tau mau bilang apa. Bleng fikiran gua saat itu. Hanya setan yang bisa gua persalahkan..

“Mau enggak, kamu bahagia bersama ku?” Sebuah proses penembakan yang didalamnya tidak ada kata mengajak berpacaran.

“Pilihannya apa dulu?” Tanyanya menatap serius.

“Ya, terserah mau jawab apa. Aku mau, mau-mau banget, gak mau atau gak mau mau banget, ya terserah” Gua menjawab serius.
Lalu dengan sebuah senyuman lebar. Dia menjawab “Mau mau banget”. Dan akhirnya gua bisa bernafas lega. Gua pengen lari dan nyemplung ke kolam yang ada di taman, karena ada kelas, gua urungkan dan kita langsung ke kampus. Untuk pertama kalinya, kita bergandengan tangan. Mulai hari itu. Dua anak adam ini mencoba menjadi calon jodoh masing-masing tanpa perduli apa yang akan terjadi di masa depan..

Sebuah keseriusan yang tak mudah

Sesaat setelah jadian, gua tidak memberi tahu teman-teman kalau gua sudah punya pacar. Gua memang sering menyembunyikan hubungan di awal-awal jadian. Karena apa? Karena pasti bakal kena palak. Judul palaknya “Pajak Jadian”. Gua sering merasa heran dengan budaya makan-makan manusia Indonesia. Semua kegiatan ada perayaannya. Mulai dari ulang tahun. Bukannya yang ulang tahun yang dibayari, malah ngebayari. Sebuah ucapan “selamat ulang tahun” yang tak gratis. Promosi jabatan juga, sampai jadian. Semua kena pajak. Jadi kalau kalian habis jadian, lalu di kantor dapat promosi, naik jabatan di hari ulang tahun kalian. Kere kalian teman.
Sebaik-baiknya gua menyimpan rahasia, akhirnya kebongkar juga. Temen-temen kampus gua tahu, kalau gua sudah jadian dengannya. Satu minggu setelah jadian gua sedang membalas sms pacar di kelas. Karena sangat fokus ke handphone, Meily yang sedang menguntit pun tanpa disadari membaca jelas sms balasan gua. “Loh, lu udah jadian Reby?” Kata Meily kaget. “Ha? Ia” Jawab gua sekenannya dan gua siap-siap kena bantai. Dan akhirnya benar, gua kena caci maki karena tak memberi tahu mereka.
Ketika hari minggu, baru gua leluasa pacaran dan benar saja. Mereka menagi Pajak Jadian dan gua diemin karena gua dalam keadaan kere tingkat kabupaten.

“Halo sayang, lagi di mana?” Tanya gua di sebrang telphone ketika mau bersiap pulang dari kampus.

“Lagi di makam” Jawab dia sedikit berbisik.

“Oh, yaudah, Reby balik ke rumah yah”

“Ha? Apa?”

“Balik ke rumah, reby dah kelar ngampus” Jawab gua dengan nada suara sedikit keras biar dia bisa mendengarkan apa yang gua ucap.

“Oh, ia”

“Assallamuallaikum” Kata gua dan mengakhiri obrolan kita pagi itu.
Layaknya pacaran seperti biasanya, kita normal-normal saja. Tidak ada yang terasa aneh. Gua juga seperti itu. Gua asik dia asik deal. Kita juga nyambung kalau ngobrol, yah gua ngerasa nyaman bisa berpacaran dengan dia.

“Eh Reby, lu enggak kecepetan pacaran sama dia?” Tanya Ferina serius.

“Maksudnya PDKTnya?”

“Ia, lu baru aja kenal 2 minggu langsung lu tembak, bukannya cari tahu dulu dia itu gimana. Harusnya lu itu jangan cepet-cepet ngambil keputusan” Lanjut Ferina makin serius.

“Yah, gua enggak mau aja diserobot orang lain Fe. Gua udah ngerasa cocok, yaudah, gua tembak aja” Tandas gua membela diri.

“Duh, terserah lu lah Bik, yang penting gua udah bilangin”

Lalu kita kembali konsen belajar di kampus.
Ferina adalah sahabat gua yang paling perduli sama gua, mulai dari masalah kuliah sampai masalah perasaan. Dia yang paling sering nelpon gua, BBM gua, text gua kalau gua tidak bisa masuk kuliah. Gua berasa seperti kuliah bareng emak di kampus, tapi, mau bagaimanapun, dia tetap perhatian ke gua meski gua sering ngeyel, bandel dan jarang mau dengar apa yang dia ucapi.

Hubungan kita sudah hampir satu bulan penuh, gua merasa tidak ada yang aneh di hubungan kita, gua tidak merasakan sebuah perbedaan apapun. Jujur, gua tidak terlalu tahu tentang dia secara mendalam awalnya, dan akhirnya, hubungan kita mulai memberat. Setelah gua tahu kita beda agama..

“Oya, sayang, Papa bentar lagi ulang tahun, biasanya kita pergi ke makam untuk ngerayain ulang tahun Papa” Seru dia di sebrang telpon.

“Yaudah, nanti pas pertama kali Reby ke rumah sayang, sekalian kita ke makam Papa sebelum kita pergi jalan”

“Tapi aku mau jujur sayang. Sayang jangan kaget yah” Lanjut dia ragu.

“Ha? Jujur apaan?” tanya gua, yang mulai merasa deg degan.

“Kita beda agama, aku kristen, sebenernya aku mau bilang ini dari awal, tapi aku takut sayang pergi ninggalin aku” jawab dia ragu. Lalu gua enggak tahu mau ngomong apa. Dengan perasaan yang campur aduk, terbatah-batah gua mengatakan “Oh, ia, gak masalah kok, Reby juga sering belajar agama kristen, malah dari SMP dulu, jadi tenang aja” sebuah kalimat yang tidak nyambung dan akhirnya gua tetap menjalani hubungan dengan dia. Gua hampir mati kena serangan jantung malam itu..

Sabtu di bulan Ramadhan tahun 2013, untuk pertama kalinya gua ke rumahnya berkunjung. Sebuah perasaan yang campur aduk hari itu. Gila. Gua berasa seperti mau dieksekusi mati. Sebelumnya kita pernah kencan di awal bulan puasa tahun 2013, namun gua tidak pernah merasa kalau kita beda agama, gua sempat feeling namun sesegera mungkin gua menampik. Sebuah keputusan yang tidak mudah, dan akhirnya hubungan ini gua mulai dengannya. Gua seperti mengambil senapan dan mengarahkan ke kepala, dan di waktu yang tidak tahu kapan itu, senapan itu akan menembak kepala gua. Gua terlalu nekat menjalani hubungan ini..

Sesampainya di rumah doi, gua disambut oleh Mamanya, abang dan kakak iparnya. Sepertinya mereka sudah siap dengan kedatangan gua. Dari ini gua bisa menilai, keluarganya adalah type keluarga yang terorganisir. Dan gua mulai merasa atmosfir sebuah rencana yang memang disusun dari awal gua pengin berkunjung ke rumahnya. Ketika duduk di depan tokonya, gua duduk tepat di depan hadapan Mama doi, di samping sebelah kiri ada abangnya yang seperti body guard siap untuk bertindak apapun jika gua macem-macem. Lalu di sebelah kanan gua ada dia yang siap mendukung gua dengan sejuta pertanyaan Mamanya. Nampak memang sudah disusun rencana ini sebelumnya, karena sudah nampak dari susunan tempat mereka duduk. Dari awal gua memang sudah siap untuk ini...

“Gini. Saya sih tidak perduli pacar dia itu suku apa saja, tapi saya maunya dia itu seiman” Kata nyokap doi dengan logat jawa sedikit bercampur nias.

“Ia buk. Saya ingin menjalani hubungan dengan anak ibu secara serius. Meskipun kami berbeda tapi saya tidak pernah memaksakan apapun yang saya percayai ke dia” Sambung gua dengan nada sesopan mungkin. Karena gua tidak mau ada pihak yang sakit hati. Dan memang benar. Meskipun kita beda, gua baru menyadari hal itu beberapa minggu sebelum pertemuan dengan mamanya, gua tidak pernah sekalipun memaksakan dan mengatakan “kamu harus ikut agamaku” tidak pernah sekalipun. Gua juga menghargai apa yang dia percayai.

“Ia, tapi saya harap kamu yang ikut dia dan bukan anak saya yang ikut kamu (maksudnya pindah agama).” Sambung nyokapnya dan membuat gua harus berfikir berjuta kata untuk menjawab pernyataan ini. Gua terdiam sejenak dengan otak yang hampir menyerah berfikir.

“Saya akan ikut agama anak ibu. Jika itu benar” Tandas gua dengan bahasa yang demokratis.

“Anak saya ini taat agama. Setiap hari dia membaca alkitab. Saya bangga dengannya” lalu semua hal berjalan mengharukan setelah nyokap doi teringat oleh almarhum suaminya. Setelah adegan mengharukan itu, kita berlalu pergi. Di jalan. Gua menghela nafas panjang menandakan satu cobaan terlewati hari itu. Gua sadar, di masa depan. Hubungan kita jauh lebih sulit dari ini. Ada tembok kaca yang coba kita hancurkan, tapi tak tahu entah sampai kapan tembok kaca itu kami bisa pecahkan.

Penolakan Pertama

Hubungan gua mulai mendapatkan penolakan. Orang yang pertama kali marah besar gua pacaran dengan cewek beda agama adalah Ferina. Ferina bukan seorang muslim, namun dia sangat melarang gua yang seorang muslim untuk menjalin hubungan dengan dia.

“Lu itu anak pertama Reby, lu itu punya adik yang nyontoh elu. Terus siapa yang akan pindah? Dia? Udah jelas emaknya ngelarang. Jadi elu? Enggak kasian lu sama adik-adik lu yang butuh sosok abang sebagai contoh?” Tandas Ferina dengan tatapan serius. Balik lagi, namanya cinta, biarpun malaikat yang memberi tahu, tetap saja ngeyel.

“Ia, gua yang bakal pindah agama. Biar aja. Kenapa emangnya? Gua udah cocok sama dia” Lawan gua ke Ferina penuh egois. Sebenarnya gua tidak mahu mengatakan hal seperti itu, gua hanya kebawa emosi sesaat. Setelah perdebatan hari itu, gua dan Ferina saling cuek sampai dua minggu lamanya. Egois gua membuat gua mengabaikan Ferina, sahabat terbaik gua yang entah bagaiaman gua harus minta maaf. Maafin gua yah Ferina...

Penolakan bukan hanya datang dari Ferina, Bibi gua, dia adalah orang yang berperan sebagai tukang sortir cewek yang sedang gua dekati. Sekali dia bilang tidak, maka hal itu akan berpengaruh ke emak gua. “Cari yang seiman. Biar enggak susah, nanti kalau yang enggak seiman payah. Lihat itu Pak Regar, mau berkunjung ke rumah mertua aja susah” Tutur bibi dengan tatapan serius.

Dan benar saja. Emak gua di rumah selalu membuat gua berusaha untuk bisa meyakinkan. Gua melakukan pendekatan yang baik untuk emak gua bisa menerima wanita yang gua pilih. Sebuah jalan buntu yang gua coba untuk terobos. Ibu gua cuman bilang “Yaudah, jalanin aja, berteman aja dulu” ketika gua mencoba meyakinkannya.

Senjata itu siap untuk menembak kepala gua...

Meski banyak penolakan di dalam hidup gua, gua tetap merahasiakan hal itu dari dia. Gua tidak mau dia merasakan susah seperti apa yang gua rasakan. Cukup gua saja. Biar gua dulu yang menghadapi berat hubungan ini karena ini dunia gua. Dan dia yang menghadapi penolakan dari keluarganya, gua tetap akan ada di sampingnya.

“Sayang, aku enggak tahu loh orang tua sayang itu setuju enggak sama aku” Seru dia ketika kita sedang dalam perjalanan ke kampus.

“Tenang aja. Orang tuaku setuju-setuju aja sama kamu” Lanjut gua meyakinkan.
Sekali lagi. Kamu tidak perlu tahu aku berjuang untuk meyakinkan mereka. Nanti kamu ikut sulit.

Sebuah Tatapan

Sore itu di hari minggu lelah. Kita baru pulang dari kampus, dan gua serta dia bersiap untuk pergi ke gereja. Meski gua muslim, jujur gua dari dulu berharap belajar agama orang lain langsung bukan dari buku. Karena akan sangat malas membaca. Dan saat bersama dia, gua menyempatkan diri untuk bisa belajar agamanya. Dan sore itu, kita sudah mau siap berangkat beribadah. Namun ada yang berbeda dari suasana keluarganya. Gua merasa dijauhi. Entah apa alasannya namun waktu itu gua merasa ada yang aneh. Berdiam diri di kedai, seperti beberapa tahun yang lalu saat pertama kali gua ke sini. Di hadapan Mamanya dan itu adalah percakapan pertama kita. Kita sudah amat jauh untuk menyerah.

Benar saja feeling gua. Sesaat setelah sampai di rumah, duduk, dan saat itu gua dipanggil ke dalam rumah. Gua yakin bakal diintrograsi tentang keseriusan gua. Menagih gua kapan untuk beralih keyakinan. Gua hanya bisa mengatakan “Saya tunggu persetujuan ibu” setiap kali ditanya. Gua tidak pernah menjanjikan gua akan beralih keyakian. Dan awal mula gua hanya mengatakan “saya akan ikut agama anak ibu kalau agamanya benar”. Sangat tidak mungkin gua beralih keyakinan hanya untuk sebuah hati.

Mungkin bagi kebanyakan orang, lebih baik berpindah keyakinan daripada berpindah hati. Gua tidak mau, menghianati pencipta gua hanya demi sebuah ciptaan.
Setelah diintrograsi dengan beberapa pertanyaan dan tatapan sinis, gua tidak tahu mengapa. Namun itu adalah pertanda mereka menginginkan gua menyerah. Dan gua tetap bertahan. Bertahan demi sebuah hati yang gua perjuangkan.

Hasil dari sabar

Bukan berarti perjuangan gua tidak ada hasilnya, setelah satu tahun lebih, ia, selama itu, akhirnya gua mulai diterima di dalam keluarganya. Gua sering disuruh menginap oleh Mamanya dan tidur bareng adik laki-lakinya. Main kartu dan kena coret di muka, meski tidak diterima secara penuh. Namun ini adalah buah dari kesabaran. Walau begitu, bukan berarti semua lancar-lancar saja. Masih ada saja cobaan dihubungan kita. Gua hanya bisa tetap bertahan dan bersabar, lalu berjuang sesuai kemampuan gua. Entah apa yang akan terjadi di masa depan nanti, gua berjalan layaknya orang buta dan terus berjalan yakin akan sampai pada akhir cerita bahagia. Meski semuanya tidak sesua kenyataan.

Mulai takut berkunjung

Awal tahun 2015 gua melewatkan tahun baru sendirian di rumah dengan persaaan yang hancur. Pada kasus ini, gua hanya bisa diam dan tak tahu mau berbuat apa. Lisan gua tidak bisa mengatakan putus. Gua hancur karena sebuah kebohongan. Tetapi tetap cinta.

Waktu terus berlalu, dan masa-masa kuliah mulai semakin sulit. Gua mulai memasuki masa yang paling ditakuti oleh mahasiswa. Musim Skripsi. Gua sudah punya judul yang harus di ACC ke pembimbing, namun lanjut dari judul itu, gua harus menyelesaikan Proposal yang membuat gua harus berhujan-hujanan untuk bimbingan, dan menempuh jarak yang cukup jauh untuk ke kampus. Karena kesibukan itu, gua jarang berkunjung ke rumahnya lagi. Bisa dihitung jari. Karena kerjaan gua di kantor juga yang membuat gua tidak bisa berkunjug. Lalu ada alasan lain. Gua mulai takut berkunjung ke rumahnya. Gua mulai merasa tidak nyaman. Entah karena kejadian awal tahun 2015 itu atau karena terlalu seringnya gua mengalami tekanan oleh keluarganya. Meski gua mulai diterima, namun tidak sepenuhnya.

Jalan buntu itu mulai menyulitkan gua....

“Mama nanyain sayan terus, kenapa enggak pernah ke rumah lagi” Katanya dengan handphone ditelinga gua.

“Ia, Reby banyak kerja, nyusun proposal, ini itu, bilang ke mama yah” Tandas gua singkat.

“Ia, aku juga tahu sayang mulai bosan dengan sikap Abang aku, makanya sayang enggak pernah ke rumah lagi” Lanjutnya.

“Ia, gimana yah, reby enggak mau kenapa-kenapa. Soalnya kalau bapak tahu Reby diapa-apain orang, bisa lenyap orang itu” Dengan tarikan nafas “Reby enggak mau abang kenapa-kenapa”. Hal ini mengingat dulu bokap pernah bawa pedang panjang ke orang yang megang kepala gua karena suatu alasan. Bokap gua pernah bilang “Enggak ada yang bisa nyakiti keluargaku, dia bakal aku cincang”. Bokap gua mantan preman. Walau sekarang malah seperti pelawak gagal di rumah. Hehehehe.

Tak Seperti Harapan

Hubungan gua sudah hampir dua tahun lamanya. Bahkan disaat seperti ini, rasa sayang gua mulai bertambah. Kejadian di awal januari mulai gua lupakan. Kita seperti dulu lagi, dan lebih sering bercanda. Walau hubungan gua dan dia berat, tidak pernah sekalipun kita lewatkan waktu untuk bercanda. Ketika gua bosan dengan hari-hari gua, dia selalu menghibur gua via suara. Walau pada akhirnya gua cuman diem. Gua selalu bahagia ketika bisa ngobrol dengannya. Wanita yang selalu memotong kuku gua, membersihkan telinga gua, kadan sampai ketombe gua pun dia yang bersihin. Bagaimana bisa gua pergi kalau dia seperti itu? Tapi balik lagi. Sekeras apapun kita mencoba, jika pada akhirnya perpisahan adalah jawaban dari semua ini. Mau bilang apa?

Saking sibuknya gua, kadang gua sering mengabaikannya, apalagi kita memang jarang bertemu. Gua saja sampai mengabaikan kuliah jika urusan di kantor terlalu padat. Gua harus punya banyak cara untuk membagi waktu terhadap dunia gua. Dia, kantor, dan keluarga. Meski kadang gua lupa membagi waktu dengan diri sendiri.

Memasuki pertengahan 2015, ketika bulan puasa di bulan juli. Itu adalah hari pertama kita bisa buka bersama. Dulu gua sering menyempatkan diri untuk bisa berbuka bersama dia. Meski cuman gua yang puasa. Meski begitu, gua sudah tidak seperti dulu yang menjemput dia kerumah, namun dia datang ke kost milik Firman untuk menjemput gua. Kita pergi berbuka puasa bareng ke salah satu rumah makan yang ada di jalan Panam, Pekanbaru. Di sana kita menghabiskan waktu dan mengobrol, ketawa bersama, tidak tahu apa yang terjadi pada esok hari. Kita tetap menjalani hubungan dengan baik. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuat gua tertawa terbahak-bahak sampai susah nafas. Sampai detik ini, gua belum menemukan wanita yang bisa membuat gua tertawa seperti dia lakukan ke gua.

Ketika selesai makan dan kita langsung pulang ke rumah, tidak seperti dulu ketika makan kita mengelilingi kota Pekanbaru lalu pulang. Hari itu gua lelah. Karena sebelumnya gua buka bareng dengan teman rekan kantor, orang yang ada dicerita ini. Ketika sampai di kost Firman, kita berpisah. Tanpa gua sadari. Itu adalah terakhir kita makan bareng sebagai sepasang kekasih. Di hari minggu yang dulunya gua selalu senang akan kehadirannya karena bisa bersama dia. Dan akhirnya. Di hari minggu itu adalah hari terakhir untuk bisa bersama dia sebagai sepasang kekasih.

Seninnya setelah pulang dari kantor, gua balik ke rumah orang tua gua yang tidak terlalu jauh dari rumah dinas gua. Di situ sudah ada bokap dan nyokap gua, serta adik gua yang sedang menyetrika baju gua, karena lelah, gua duduk di antara mereka. Dengan handphone di tangan, gua mulai bercerita.

“Eh, bu, kemaren aku abis keluar sama temen kantor aku, ni anaknya” Kata gua sambil menyodorkan handphone.

“Loh, bang, kok kayak cewek yang pernah ibu mimpi ketemu dia. Abang bawa dia ke rumah dan ngenali dia ke ibu” Tutur nyokap memandang foto dengan seksama. “Tapi entahlah yah” Lanjut nyokap masih menatap layar Handphone. Bokap yang ada di samping turut melihat, adik gua yang tadinya menyetrika pun bangkit dari tempatnya.

“Anak mana bang?” Tanya bokap.

“Anak Bandung, dia mandiri loh, aku salut, dengan usianya yang baru segini, dia jauh dari orangtuanya. Keren yah” Tutur gua ke bokap.

“Kalau ini baru namanya cewek bang. Ibu padahal tiap sholat selalu beroda biar abang enggak sama pacar abang yang sekarang” Lanjut nyokap dengan nada santai. Dan gua cuman terdiam tak tahu harus berkata apa. Dua tahun. Dan selama itu nyokap gua baru mengatakan ketidak setujuannya ke gua meski dengan tata bahasa yang berbeda. Setelah mengambil handphone dari nyokap. Gua kembali ke kamar. Dengan tatapan nanar. Gua mulai tidak tahu harus seperti apalagi hubungan gua...
Beberapa hari setelah ibu gua mengatakan hal itu, gua mencoba duduk dan meyakinkan nyokap.

“Tapi dia berniat untuk masuk islam bu” Jelas gua ke nyokap semampu gua.

“Tetap aja enggak bisa bang. Susah nanti kamunya. Banyak cobaannya” Seru nyokap meyakinkan gua.

“Jadi aku harus gimana? Apa aku harus akhiri sekarang?”

“Jangan dulu, berteman dulu aja. Dia nanti sakit hati kalau tiba-tiba kamu putusin” Sambung nyokap.

“Tapi aku enggak bisa lah Mak, mana bisa aku terus tutupi hal ini dan pada akhirnya bakal tetep enggak bisa sama” Gua mencoba meyakinkan diri dan nyokap.

“Yaudah, gimana bagusnya abang aja” Lalu nyokap berlalu. Gua hanya bisa diam dan tidak tahu harus apa. Gua sudah sering meyakinkan nyokap selama dua tahun dan nyokap gua masih tidak bisa merestui gua dan dia. Gua tahu, jika gua melanggar apa yang nyokap gua katakan. Akan berakibat fatal. Tidak mau diusir untuk kedua kalinya hanya gara-gara perempuan. Dan gua kapok melawan nyokap gua.

Entah harus bagaimana, gua menguatkan diri untuk siap-siap berpisah.....

Akhir Dari Cerita Panjang

Juni, 2015. Akhir dari semua yang gua bangun selama ini. Tidak ada orang ketiga di hubungan gua dan dia yang membuat hubungan kita berakhir. Meski waktu itu gua mengenalkan teman kantor ke orang tua gua, bukan berarti gua suka dia, melainkan gua pengin pamer ke mereka, gua punya temen kantor yang luar biasa mandiri. Siapa yang tidak bangga punya teman seperti dia? Gua sudah terbiasa berteman dengan banyak wanita. Namun tidak dengan hati. Entahlah mungkin orang akan berfikir hubungan ini berakhir karena orang ke tiga atau apa. Gua hanya tidak ingin berdebat masalah ini.

Malam itu gua siapkan diri, setelah pulang dari kantor, dengan badan hampir lelah, gua memandang handphone. Masih ada foto gua dan dia di wallpaper handphone. Itu adalah malam ke dua setelah kita merayakan hari jadian kita untuk yang ke dua tahun. Malam jadian yang tak seperti dulu senangnya ketika tahu kita sudah bersama selama setahun.

“Ada yang Reby harus omongi, lewat telphone aja” Ketik gua via sms..

“Oh, yaudah sayang, telphone lah” Balas dia.

Beberapa hari sebelum putus, gua jarang BBM, sms, dikarenakan gua benar-benar dalam dilema. Alhasil, selama satu minggu sebelum putus, gua jadi orang yang dingin ke dia..
Setelah gua jelasi ke dia bagaimana ibu gua dan hubungan kita, dia mulai terdiam, teriak kaget. Dia seakan tidak percaya apa yang gua baru ucapkan.

“Ha? Jadi gimana? Please sayang, bawa aku ke rumah biar aku yakinkan ke ibu aku pantas bersama sayang” Mohon dia dari sebrang telphone.

“Enggak bisa, ibu kalau sekali bilang enggak, tetap enggak” Sambung gua.
Dia terdiam, lalu seperti menahan tangis.

“Jadi gimana? Aku enggak mau putus sama sayang”

“Tapi Reby enggak bisa ngelanjuti hubungan ini. Reby udah lelah untuk meyakinkan mereka. Kita udah enggak bisa sama-sama lagi” Lalu setelah percakapan cukup panjang, akhirnya, saat itu juga hubungan kita berakhir. Menatap layar buram, dengan Wallpaper foto yang kita ambil satu setengah tahun yang lalu, tidak sadar kalau kita akan berakhir seperti ini. Berakhir di dalam kamar gelap gua dengan perasaan yang bercampur aduk. Gua terpaksa kehilangan dia..

Jujur, gua sebenarnya tidak mau putus. Gua pengen terus menjalani hubungan dengan dia. Gua lelah untuk memulai dari awal, memulai seperti dulu. Membaur dengan keluarga, membaur dengan dunia dia, dan semua harus dimulai dari awal lagi. Gua sudah terlalu lelah untuk itu. Namun, karena gua takut ibu gua bertindak seperti dua tahun setengah lalu, ketika dia sangat tidak mahu gua berpacaran dengan wanita yang dia tidak sukai, nyokap nyeletuk “Kalau abang masih pacaran sama dia, abang jangan tinggal di rumah ini lagi”. Gua tidak mau kata-kata itu terucap lagi. Dulu gua saking bandelnya, sering ngebuat nyokap gua nangis, sekarang, gua tidak mau hal itu terjadi lagi. Gua tidak mahu hanya karena gua yang terlalu egois, emak gua nangis lagi seperti dulu...

Bukan durasi ternyata yang membuat suatu hubungan itu kuat, tapi orang-orang di sekitarnya. Itu yang dulu pernah gua tulis untuk teman gua yang putus di cerpen ini. Dan akhirnya, kata-kata itu gua tulis untuk gua sendiri. Terkadang cinta datang ketika kita tak ingin mencari, dan kadang dia pergi ketika kita tak ingin sendiri. Cinta memang seperti itu. Batu ujian yang diberikan Tuhan agar kita tak gampang melupakannya hanya karena mahluk yang dia ciptakan. Dulu gua sering melakukan kesalahan besar ketika bersama dia. Lupa bahwa Tuhan juga melihat kita. Lalu Tuhan menjauhkan kita seperti saat ini. Bukan karena Tuhan berniat tidak baik, tapi agar kita berdua dijauhkan untuk hal yang lebih baik. Setidaknya, tidak ada kesalahan yang terulang seperti dulu. Kita sudah terlalu jauh, bahkan terlalu kelewat batas. Dengan ini. gua harap, kita belajar betapa menjalani hubungan terlalu egois akan berakibat fatal. Sudahlah, semua sudah berakhir. Apapun yang terjadi, kita tak akan bisa seperti dulu. Kangen? Ia, tapi untuk kembali tidak. Kadang bahkan sampai saat ini, 10 Oktober 2015, gua masih rindu bercanda dengan dia, namun tidak untuk kembali. Ada perasaan yang hilang dari hati gua. Perasaan untuk bersama.

Rasa dalam hati kita kepada seseorang di masa lalu tidak akan pernah pergi. Namun, lama kelamaan, rasa di dalam hati itu hambar. Dia ada, tapi sudah tidak seperti dulu. Seperti permen karet yang telalu lama dikunyah, lama kelamaan dia tak terasa.

Setelah Semua Berakhir

Gua masih sering ketemu dia, gua pernah minta tolong dia untuk mengantarkan gua ke mini market pada akhir agustus 2015, lalu mengantarkan gua untuk membeli handphone baru, pengganti handphone nokia yang selama pacaran gua pakai untuk menghubungi dia. Gua tetap menjaga hubungan baik dengannya, karena gua tidak mau, yang dulunya sayang-sayangan, sekarang malah anjing-anjingan. Setidaknya, kita dulu pernah saling mencintai, dan ketika tak bisa bersama, bukan berarti kita harus saling membenci.

“Kan Reby. Gua udah bilang sebelumnya, lu mah bego, masih aja mau pacaran sama dia” Kata Ferina ketika gua curhat dadakan ke Gymnya di salah satu jalan yang ada di Pekanbaru.

“Ia Fe, Gua minta maaf, gua bego banget enggak dengerin apa yang elu bilang dulu” Lanjut gua menatap ke lantai. Kita saling berhadapan. Gua melihat Ferina, sama seperti dulu gua melihat dia menasehati gua untuk tidak melanjutkan hubungan ini. Terima kasih Ferina, sudah mau membuang waktumu untuk gua yang selalu ngeyel. Enggak bakal ngeyel lagi kok. Janji. Hahaha..

Setelah gua putus, orang-orang yang dekat dengan gua kaget, bos gua yang pernah sekantor sampai menelphone dari Kalimantan dan memarahi gua kenapa gua tega memutuskan dia, namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur berakhir. “Bang, mantan kamu itu, kemaren ngirim surat buat ibu” Kata bokap dari sebrang telphone. “Ha? Apa isinya?” Tanya gua kaget. “Entar abang baca sendiri isinya apa” Lanjut bokap. Dan sejak detik ini, gua belum tahu apa isi surat itu. Dan saat titi terakhir dari tulisan ini. Gua sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang datangnya tak pernah gua duga sebelumnya..

NB: Gua cukup menguras isi kepala ketika menulis ini, mengingat-ingat kejadia di masa lalu, memilah mana yang harus diceritakan atau tidak. Bahkan sampai gua BBM mantan gua bertanya gimana dulu gua nembak dia. Hahahah. Gua mulai lupa masa itu. Kemaren gua janji ke diri sendiri kalau single dairy yang pertama tembus 100 orang pembaca, gua bakal langsung upload tulisan ini, eh, boro-boro ngelanjuti, tulisan ini gua angguri karena kesibukan di kantor. Kalau isitilah manusia, cerpen gua udah mulai jenggotan karena enggak gua peduliin. Setelah gua mantabkan diri, sambil mendengarkan lagu Leave Your Lovernya Sam Smith, gua memantabkan untuk menyelesaikan tulisan ini. Kali ini gua mengurangi lucu-lucuan di tulisan gua. Biar berasa nyeseknya. Sorry kalau disalah satu sesi paragraf kalian menemukan titik jenuh untuk melanjutkan membaca, mungkin saat itu gua juga sedang jenuh menulis. Thanks buat kalian yang masih mau baca curhatan gua. Salam nyasar. Muaachh *Cipok Basah*.

4 komentar:

  1. Ngena,reb. Ngena bgt💔 Coba jatuh cinta sama gua deh ren💕💕 uhukkkkj😂😁

    BalasHapus
  2. Wkwkwkwk. Kampret luuu..... Tumben lu nyasar di blog gua. Kesambet?

    BalasHapus
  3. Good job mas.. Nice story of love.. So inspiring.. Keep writing.. :)

    BalasHapus
  4. Wuuhh. Ada yg mampir jugak nih. Iaa. Thanks kaniaa....

    BalasHapus

Agan Boleh Komen, Tapi Yang Sopan, Kalau Enggak, Kencingi Nanti...

Jumlah Pengunjung Yang Nyasar

 

Blogger news

Blogroll

About